Rabu, 16 Februari 2011

Ukuran Keberhasilan Orang Batak

Ukuran Keberhasilan Orang Batak Budaya Batak – Falsafah Batak Di setiap acara adat Batak, hampir semua kerabat yang datang pada acara itu akan menyampaikan harapan dan doa agar pihak keluarga yang punya acara (hasuhuton) berhasil dalam kehidupannya, yang diukur dari k...eberhasilan dalam aspek materi/welfare dan pengetahuan/knowledge (hamoraon), kedudukan sosial/jabatan/respected (hasangapon), dan keturunan, baik dalam jumlah dan kualitas dan terutama adanya anak laki-laki di dalam keluarga (hagabeon). Perhatikan umpasa/umpama (pantun) berikut : Giring-giring ma tu gosta-gosta, tu boras ni sikkoru, Sai tibu ma hamu mangiring-iring, huhut mangompa-ompa anak dohot boru. Rimbur ni Pakkat tu rimbur ni Hotang, Sai tudia pe hamu mangalakka, sai tusima hamu dapot pansamotan. Dekke ni sale-sale, dengke ni Simamora, Tamba ni nagabe, sai tibu ma hamu mamora. Walaupun umumnya dikenal ketiga ukuran di atas, sebenarnya dari banyak umpama/umpasa tersirat juga satu ukuran keberhasilan yang lain yaitu KERENDAHAN HATI/humble (haserepon), tetapi hal ini sangat jarang secara eksplisit diutarakan sebagai salah satu ukuran keberhasilan di masyarakat Batak. Sebenarnya, ukuran ini adalah merupakan ukuran yang paling penting dari 3 (tiga) ukuran sebelumnya, yaitu hamoraon, hasangapon dan hagabeon. Dengan adanya sikap rendah hati, maka cara kita menilai ukuran keberhasilan tadi juga menjadi lebih baik. Ukuran kekayaan sangat sulit kita defenisikan, sangat relatif, tergantung bagaimana kita membandingkannya. Tidak mungkin ada ukuran yang absolut untuk menentukan sebuah keluarga apakah kaya atau miskin. Dengan kerendahan hati (haserepon), maka kita dapat mendefenisikan secara absolut, apakah seseorang itu kaya atau miskin. Seseorang yang mampu memberi kepada orang lain, adalah seseorang yang kaya. Karena dengan kemampuannya untuk memberi, maka dia adalah seorang yang kaya, karena berarti ada yang lebih yang mampu dia berikan kepada orang lain. Tetapi seseorang, yang mungkin bagi kebanyakan orang sudah termasuk dalam kategori kaya, tetapi tidak mampu untuk memberi kepada orang lain, adalah seseorang yang masih miskin, karena tidak ada yang lebih yang dapat diberikan kepada orang lain. Ketamakan sesorang juga menunjukkan bahwa dia masih miskin, apa yang sudah dia dapatkan masih tetap kekurangan. Tetapi, seseorang yang selalu mengucap syukur akan apa yang sudah diperoleh sebagai berkat dari Tuhan, adalah sesorang yang kaya. Ukuran kehormatan juga tidak selalu sejalan dengan posisi/jabatan seseorang di dalam masyarakat. Kehormatan seseorang adalah hasil dari perjalanan panjang yang dibangun melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungannya sebagai masifestasi dari sistem nilai yang ditunjukkan oleh yang bersangkutan, seperti integritas, trusted person/trustworthy, credible, positive thinking dan walk the talk. Kehormatan tidak datang otomatis dengan semakin tingginya jabatan/posisi, kehormatan adalah sesuatu yang harus di-earned. Kalau seseorang memiliki haserepon, tentu kehormatan ini akan dapat dicapai. Banyak contoh yang menunjukkan orang-orang yang dihormati dalam lingkungannya walaupun jabatan/posisinya tidak tinggi, sebaliknya banyak juga orang-orang yang sudah memiliki kedudukan/posisi/jabatan yang cukup terhormat, tetapi tidak dihormati di dalam lingkungannya. Demikian juga ukuran hagabeon (banyaknya dan lengkapnya keturunan). Banyaknya keturunan dan lengkapnya keturunan, adalah salah satu cara untuk mencapai 2 (dua) ukuran keberhasilan di atas, yaitu hamoraon dan hasangapon. Juga dengan adanya keturunan, diharapkan nama sesorang akan diabadikan melalui keturuan-keturuannya. Sama seperti masyarakat etnik lain di Indonesia, kepercayaan banyak anak banyak rezeki (anakhon hi do hamoraon di au), juga dari umpasa di atas, diharapkan akan juga didapatkan kehormatan. Bagaimana hal ini dicapai?. Tentu melalui investasi yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anaknya melalui investasi kesehatan, pendidikan, dan sistem nilai yang baik. Diantara ketiga ukuran keberhasilan ini, ukuran yang ketiga ini umumnya semua orang sependapat adalah merupakan kehendak Tuhan (God’s will), walaupun sebenarnya semuanya(termasuk hamoraon dan hasangapon juga adalah kehendak Tuhan, tapi untuk ukuran keberhasilan hamoraon dan hasangapon, banyak orang yang tidak secara ikhlas mengakui itu adalah kehendak Tuhan, yaitu dengan misalnya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hamoraon dan hasangapon, dan juga keyakinan bahwa ada “kekuasaan lain” yang dapat memberikan hal ini kepada yang bersangkutan. Maka muncullah nuansa KKN untuk mendapatkan 2 ukuran keberhasilan ini, Haserepon menjadi sangat penting untuk membantu kita memahami arti hagabeon, karena dengan haserepon kita akan dapat menerima kehendak Tuhan atas hagabeon yang diberikan kepada kita. Sikap kita untuk menerima hagabeon yang diberikan oleh Tuhan kepada kita akan menentukan apakah kita seseorang yang gabe atau tidak. Bahkan suatu keluarga yang tidak mempunyai keturunanpun, dapat menjadi orangtua kepada banyak orang yang memerlukan orang tua dan dengan demikian keluarga ini menjadi keluarga yang gabe, sebaliknya suatu keluarga yang dianugerahkan oleh Tuhan banyak anak, tetapi tidak berlaku/bertidak sebagai orangtua yang benar bagi anak-anaknya, tidak mewariskan kesehatan, pendidikan dan sistem nilai yang baik kepada anak-anaknya bukanlah keluarga yang gabe. Demikian juga sikap kita terhadap pembedaan anak laki-laki dan anak perempuan. Karena alasn untuk mempunyai keturunan, bukan lagi sekedar mewariskan “last name”, tetapi lebih luas lagi mengenai apa yang telah kita perbuat untuk generasi setelah kita. Jadi dengan haserepon, maka kita akan mampu untuk bersyukur akan apa yang sudah diberikan oleh Tuhan kepada kita. Dengan demikian, maka kita menjadi orang yang telah memiliki semua ukuran keberhasilan yang selalu diingankan di masyarakat Batak, yaitu : hamoraon, hagabeon dan hasangapon. Sistem nilai budaya Batak, sebagaimana sistem nilai kultur lainnya, harus mampu beradaptasi ke arah yang lebih baik, dengan tujuan pengayaan terhadap budaya tersebut. Hanya dengan demikian, suatu budaya dapat dilestarikan. Dengan budaya yang sama, tapi dengan aplikasi yang berbeda, sesuai dengan zamannya akan dapat bertahan, dan tidak akan usang oleh waktu. Tapi karena budaya adalah milik suatu komunitas, maka sudut pandang terhadap sistem nilai budaya itu harus mempunyai interpretasi yang sama di komunitas itu sendiri. Ulasan saya disini, adalah salah satu sudut pandang yang mungkin perlu didiskusikan dan dikembangkan lebih jauh. Agar menjadi warisan yang dapat dikembangkan oleh generasi penerus, dan menjadi kontribusi masyarakat Batak terhadap budaya Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar