Kamis, 17 Februari 2011

Budaya batak dalam perubahan multidimensi



I. KEBUDAYAAN INDONESIA DI DALAM UNDANG-UNDANG Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai keragaman budaya yang sangat banyak dan tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini. Indonesia memiliki 370 suku bangsa dan 67 bahasa induk. Hal ini menempatkan Indon...esia sebagai negara terkaya dalam hal etnik-sosial-kultural. Berkaitan dengan karakteristik diatas, Undang-Undang Dasar 1945 memperjelas dengan pasal 32 sebagai berikut : Pasal 32 (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dari pasal diatas jelaslah bahwa negara menghormati dan berkontribusi untuk memajukan kebudayaan di nusantara ini (mulai dari Pulau Sumatera sampai pulau Irian). Negara mendukung pemeliharaan dan pengembangan budaya daerah sebagai salah satu sejarah bangsa Indonesia. II. SEJARAH BUDAYA BATAK Sejarah kebudayaan suku bangsa Batak merupakan salah satu bagian dari sejarah kebudayaan bangsa Indonesia, sama halnya seperti sejarah kebudayaan Melayu, Minangkabau, Sunda, Jawa, Toraja, dan lain sebagainya. Suku bangsa Batak sebagai salah satu suku bangsa dari rumpun melayu/Indonesia-tua adalah termasuk yang tertua di Sumatera khususnya dan di Indonesia umumnya. Hal ini menyebabkan suku bangsa ini mempunyai arti penting dalam sejarah kebudayaan asli Indonesia. Sebagai bagian dari sejarah bangsa, budaya Batak sudah ada sejak berabad-abad tahun yang lalu. Dimulai dari kerajaan Sisingamangaraja yang pertama (kakek buyut Raja Sisisingamangaraja XII, pahlawan nasional Indonesia), suku Batak tetap eksis sampai saat ini dengan tetap mempertahankan identitasnya. Pewaris kebudayaan Batak tetap menjaga, memelihara serta melestarikan Budaya Batak sebagai kebudayaan warisan nenek moyang. Budaya Batak yang bersifat kekeluargaan, gotong royong dan setia kawan telah mengakar disetiap langkah hidup orang Batak. Budaya Batak sudah menjadi falsafah hidup bagi warganya ditengah era globalisasi dewasa ini. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi yang pesat, yang membawa dampak bagi perjalanan hidup bangsa ini, juga membawa dampak bagi kebudayaan. Di sisi lain, era informasi dan globalisasi ternyata menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya bangsa, yakni sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya, dan berkurangnya keinginan untuk mengembangkan budaya negeri sendiri. Tetapi walaupun demikian derasnya arus globalisasi tidak membawa dampak yang signifikan dalam perubahan budaya Batak. Budaya Batak justru terus tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan identitas aslinya. Budaya Batak sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia telah mengalami perubahan dan penyesuaian dari masa ke masa. Suku bangsa Batak yang semula terbelakang dibidang kemajuan modernisasi perlahan-lahan mulai terbuka dalam menyambut perubahan zaman. Keterbelakangan budaya Batak pada awalnya disebabkan karena pengisolasian diri sendiri beberapa abad masa lampau,yakni sejak abad ke-16. Pengisolasian ini bertujuan untuk mempertahankan kebudayaan/ kepribadiannya dari pengaruh-pengaruh kebudayaan dan peradaban yang dibawa penjajahan Belanda. Pengisolasian suku Batak ini mulai terbuka karena kemajuan zaman yang tidak terelakkan sejak akhir abad ke-19. Budaya Batak akhirnya terbuka akan masuknya kemajuan teknologi, informasi dan globalisasi. Setelah meninggalnya Raja Si Singa Mangaraja XII oleh penjajahan Belanda pada akhir abad ke-19 , budaya Batak mulai keluar dari `pengisolasiannya`. Sejak saat itu suku bangsa Batak mulai mengalami penyesuain akan kondisi yang dihadapi. Identitas budaya asli warisan nenek moyang tersebut ada yang tetap dipertahankan sampai sekarang tetapi ada juga yang disesuaikan dengan kondisi zaman dan era emansipasi. III. BUDAYA BATAK DI TENGAH ARUS GLOBALISASI Diantara sekian banyak identitas budaya Batak, satu yang paling terkenal dan masih dipertahankan ditengah arus globalisai saat ini adalah budaya “Dalihan Na Tolu” (jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Dalihan Na Tolu artinya tungku api berkaki tiga). Falsafah hidup Dalihan Na Tolu di lingkungan Suku Batak dikenal dengan adanya sistem marga, yaitu identitas orang-orang yang mempunyai garis keturunan yang sama menurut ayah atau patrilineal. Contohnya adalah jika ayah kita memiliki marga Tarigan, maka anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan akan bermarga Tarigan. Sistem marga ini sudah ada sejak dahulu kala dan sampai sekarang (ditengah arus globalisasi dan informasi) masih tetap dipertahankan secara turun-temurun. Sistem marga-marga dalam budaya Batak selain sebagai identitas diri juga berfungsi sebagai pengikat tali persaudaraan yang dalam. Apabila dua orang atau lebih masyarakat Batak bertemu untuk pertama kali dan ingin berkenalan maka yang ditanyakan bukanlah nama dari orang yag bersangkutan melainkan marganya. Apabila orang-orang yang berjumpa ini kebetulan semarga maka akan terjalin persaudaraan yang sangat dalam. Jika tidak semarga pun maka akan ditentukan panggilan yang saling menghormati. Dengan perkataan lain masyarakat Batak yang menerima Dalihan Na Tolu sebagai falsafah hidup adalah satu masyarakat yang utuh dan diikat oleh aturan main yang rapi dan selalu ditaati. Adanya sistem marga-marga membuat semangat kekeluargaan dan kesetia-kawanan tercipta. Tanpa sistem marga Dalihan Na Tolu, sukubangsa Batak sudah lama lenyap oleh kemajuan zaman. Salah satu aturan Dalihan Na Tolu adalah dilarang kawin semarga. Artinya masyarakat Batak tidak boleh menikah dengan orang lain yang memilki marga yang sama dengannya. Contohnya adalah jika ada seorang perempuan bermarga Lubis, maka dia dilarang secara adat untuk menikah dengan laki-laki yang bermarga Lubis juga. Sesuai dengan hukum adat, orang-orang yang memiliki marga yang sama (semarga) dianggap sebagai adik-kakak. Oleh karena itu dilarang menikah dengan orang lain yang memiliki marga yang sama. Hukum adat ini sudah ada sejak dulu kala (ketika budaya Batak tercipta untuk pertama kalinya di pinggiran Danau Toba) dan sampai saat ini didalam dimensi ruang yang berbeda tetap dipertahankan. Memperlunak larangan kawin semarga (artinya bisa menikahi orang yang semarga) berarti merongrong kebudayaan suku bangsa Batak yang paling dasar. Karena hal yang paling mendasar dari masyarakat Batak yang patrilineal (menurut garis keturunan ayah) terletak pada keutuhan disiplin larangan kawin semarga. Jika larangan ini diperlunak maka pasti hancurlah kepribadian Sukubangsa Batak. Hingga sekarang ditengah ditengah perubahan dimensi ruang dan dimensi waktu, pola kebudayaan Dalihan Na Tolu masih bertahan mengikuti zaman. Walaupun begitu derasnya arus globalisasi namun kebudayaan Batak Dalihan Na Tolu masih tetap dijaga secara turun-temurun dan tidak terpengaruh budaya asing. Namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya perkembangan teknologi, globalisasi dan era informasi yang pesat membawa dampak bagi perkembangan budaya Batak juga. Dari berbagai identitas budaya yang telah diwariskan turun-temurun, ada yang harus disesuaikan dengan kondisi yang terjadi sekarang. Penyesuaian tersebut dilakukan karena tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Salah satu contohnya adalah dalam hal sistem pembagian harta warisan. Hukum adat Batak yang patrilineal tidak mengakui adanya pembagian harta warisan bagi anak perempuan. Semua warisan dari orangtua diberikan pada anak laki-lakinya yang esensial sebagai penyambung keturunan menurut garis bapak. Namun dewasa ini sistem hukum adat yang patrilineal yang dianut suku Batak dalam hak warisan bagi anak laki-laki sedang mendapat ujian berat. Hal ini berkaitan dengan unifikasi hukum nasional buat seluruh warga negara Indonesia, dimana anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam pembagian warisan. Oleh sebab itu hukum adat Batak tersebut kemudian disesuaikan. Anak laki-laki dan perempuan adalah sama dalam pembagian warisan. Walau terjadi unifikasi hukum nasional buat seluruh masyarakat Indonesia, namun budaya Batak tetap akan dijaga. Walau Sisinga Mangaraja telah gugur namun falsafah hidup Dalihan Na Tolu tidak pernah hilang. Dan pola Kebudayaan Batak sejak abad XIV hingga kini tidak pernah dapat ditumbangkan oleh kebudayaan asing. Zaman boleh berubah, teknologi boleh semakin maju, arus globalisasi boleh semakin deras tapi kebudayaan Batak tetap harus dilestarikan. Budaya Batak akan tetap bertahan dan berkembang dalam perubahan multi dimensi

0 komentar:

Posting Komentar