Senin, 05 Desember 2011

Monotheisme ,Warisan Syariat Nabi Nuh



Ketika bumi dilanda bencana yang maha dahsyat, seluruh peradaban yang ada musnah. Dan yang tersisa adalah Nabi Nuh beserta pengikutnya yang setia. Mereka yang diselamatkan dari bencana, adalah manusia-manusia bertaqwa. Mereka adalah pengikut Syariat Nuh, yang meyakini akan ke-Esa-an Allah (Monotheisme).

Bermula dari pengikut Nabi Nuh inilah, peradaban kembali dimulai, termasuk kepada hal-hal yang berkenaan dengan Sprititual. Dan telah menjadi sebuah kenyataan, jika semua keyakinan-keyakinan utama yang ada pada saat ini, pada hakekatnya percaya kepada Tuhan Yang Esa (Monotheisme), sebagaimana terlihat pada tulisan berikut :





ISLAM

Populasi pengikutnya, sekitar 1.7 miliar dan terkonsentrasi di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika Utara dan Asia Tenggara.

Konsep Ketuhanan menurut Al-Quran :

Al Ikhlas 1-4 “Katakanlah, ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.

KRISTEN

Populasi pengikutnya sebesar 2.1 miliar pemeluk di seluruh dunia, terkonsentrasi di Eropa, Amerika, Australia dan Afrika Tengah dan Selatan.

Konsep Ketuhanan menurut Alkitab :

Markus 12:29 “Maka jawab Yesus kepadanya, hukum yang terutama adalah ‘dengarlah hai Israel, adapun Allah Tuhan kita adalah Tuhan yang Esa’”

Yohanes 5:30, “Maka aku tidak boleh berbuat satu apa pun dari mauku sendiri, seperti aku dengar begitu aku hukumkan dan hukum itu adil adanya, karena tiada aku coba hukum sendiri melainkan maunya Bapa yang sudah mengutus aku.”

HINDU
Populasi pengikutnya, sekitar 800 juta jiwa dan terbanyak berada di India, Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Konsep Ketuhanan menurut Wedha :

Chandogya Upanishard, pasal 6 bag 2 ayat 1, “Akkam avidetuim” artinya Tuhan adalah satu.

Sweta Sutara Upanishard psl 6 ayat 9, “Na kasia kasji janita nakadipa” artinya Dia yg tidak memiliki ibu bapak dan tidak memiliki tuan.

Sweta Sutara Upanishard pasal 4 ayat 19, “Natastya pratima asti” artinya Tdk ada yg serupa dengannya.

BUDDHA
Agama Buddha berkembang sangat pesat di China, Tibet, Thailand dan Asia Selatan. Populasinya sekitar 600 juta jiwa.

Konsep Ketuhanan menurut Buddha :

Sutta Pitaka, Udana VIII : 3 “Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu”

Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya “Tuhan adalah Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”.


KONGHUCU
Konghucu lebih tepat dikatakan sebuah aliran daripada agama, namun aliran ini berkembang pesat juga di China dengan jumlah pemeluk sekitar 100-150 juta jiwa.

Konsep Ketuhanan menurut Konghucu :

1. Sepenuh Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian)
2. Sepenuh Iman menjunjung Kebajikan (Cheng Juen Jie De)
3. Sepenuh Iman Menegakkan Firman Gemilang (Cheng Li Ming Ming)
4. Sepenuh Iman Percaya adanya Nyawa dan Roh (Cheng Zhi Gui Shen)
5. Sepenuh Iman memupuk Cita Berbakti (Cheng Yang Xiao Shi)

Konghucu juga mengajarkan hubungan antar sesama manusia atau disebut “Ren Dao” dan bagaimana penganutnya melakukan hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah “Tian” atau “Shang Di”.

SIKHISM
Agama non semitik yang tidak dibawa oleh Nabi namun berkembang pesat di Pakistan dan India di sekitar wilayah Punjab. Sang guru bernama Nanak Shahib. Agama Sikh memiliki sekitar 25 juta jiwa pengikut.

Konsep Ketuhanan menurut Sikhism :

Dalam kitab Sri Guru Granth Shahib vol 1 pasal 1 ayat 1 yang disebut Japoji mul Mantra dijelaskan, “Hanya ada satu Tuhan yg eksis, Tuhan yang tdk tampak wujudnya atau Ek Omkara.”

Sikh adalah agama monotheisme menentang avtarvada (reinkarnasi).

YAHUDI
Agama Yahudi tersebar di Israel, Amerika Utara dan Eropa. Jumlah pemeluknya saat ini sekitar 15 juta jiwa.

Konsep Ketuhanan Perjanjian Lama :

Yesaya Pasal 45 ayat 5, “Akulah Tuhan tdk ada yg lain kecuali Allah.”
Keluaran Pasal 20 ayat 3-5, “Jangan ada padamu Allah lain dihadapanku, jangan buat patung yang menyerupai apa pun yg ada di langit dan di bumi dan di dalam air, jangan menyembah pd patung2 itu krn aku adalah Tuhan yg cemburu.”

Ulangan Pasal 5 ayat 7-9, “Jangan ada padamu Allah lain di hadapanku.”

ZOROASTER
Agama non semitik, dibawa oleh Nabi Zoroaster, agama ini berkembang 2500 tahun yang lalu di persia, sekarang di Iran dan India. Pemeluknya saat ini sekitar 4 juta jiwa.
Read More

Paparazi

Seorang rekan jurnalis foto menelepon, ”Sekarang aku tinggal di Bali. Aku terima kerja juga sebagai paparazzi. Kalau ada job, kabari ya….” Lebih jauh, rekan tadi bercerita bahwa dia menerima pesanan untuk memotret pesohor-pesohor yang diam-diam berlibur di Bali, bisa pesohor lokal, bisa juga pesohor internasional.

Rekan tadi juga bercerita bahwa saat Julia Roberts shooting di Bali akhir tahun 2009, dia berhasil mendapatkan sebuah foto Roberts yang lalu terjual dengan harga cukup tinggi.

Pada awal tahun 1990-an saya pernah mendapat uang dalam jumlah banyak hanya untuk memotret seorang pria yang makan siang di sebuah restoran hotel berbintang di Jakarta. Yang memberi kerja adalah istri pria itu, yang curiga bahwa suaminya selingkuh. Tugas saya hanyalah memotret wanita mana saja yang tampak bersama pria itu.

Tak lazim

Pekerjaan yang saya lakukan ataupun yang dilakukan rekan di Bali tadi biasa disebut sebagai pekerjaan paparazzi. Sebuah pekerjaan yang tidak lazim sebab memotret dengan keadaan ”memaksa”. Orang yang dipotret sesungguhnya tidak tahu kalau dipotret, dan mungkin sama sekali tidak mau.

Anda mungkin ingat kejadian pada tahun 1997 ketika Putri Diana meninggal dunia karena dikejar-kejar paparazzi. Putri Diana menolak dipotret sehingga sopirnya memacu mobilnya untuk menghindari para paparazzi tersebut, dan terjadilah sebuah kecelakaan.

Kata paparazzi, atau paparazzo dalam bentuk kata tunggalnya, dalam bahasa Italia arti harfiahnya kira-kira ”sinting”. Kata itu pertama kali muncul di Italia pada tahun 1960-an dari film berjudul La Dolce Vita yang menggambarkan kehidupan para bintang yang serba wah. Oleh sutradara film ini, yaitu Fellini, orang-orang yang suka mengintip kelakuan para bintang itu disebutnya paparazzo. Julukan ”sinting” ini masuk akal sebab mereka biasa membuntuti orang-orang penting untuk mendapatkan foto se-eksklusif mungkin tanpa peduli perasaan orang yang difoto itu.

Jangan tanya apakah profesi paparazzi itu halal atau tidak. Kenyataaannya, profesi tersebut ada karena banyak orang membutuhkan hasil kerja para paparazzi.

Waktu Michael Jackson meninggal, misalnya, sangat sedikit info yang ada tentang anak-anak bintang pop itu. Jadilah para paparazzi mengejar foto-foto anak Jacko. Sebuah foto anak Jacko konon berharga ribuan dollar AS, dan pembeli foto-foto itu adalah aneka majalah gosip yang mungkin juga sampai ke tangan Anda.

Profesi paparazzi sempat mencuat saat Richard Young dengan kejeliannya berhasil mendapatkan fakta kehidupan sehari-hari Soraya Khashoggi, janda cerai Adnan Khashoggi, salah satu orang terkaya di dunia pada tahun 1988. Foto karya Young itu kemudian melahirkan tulisan features tentang Soraya di berbagai majalah di Eropa dan Amerika pada tahun itu.

Profesi paparazzi tidak akan pernah surut sebab kebutuhan foto-foto eksklusif untuk itu selalu ada. Beberapa paparazzi papan atas punya dana sampai ribuan dollar AS untuk mendapatkan sebuah foto. Waktu Sean Penn menikah dengan Madonna pada 1985 beberapa paparazzi sampai menyewa helikopter (yang menaikkan tarif sewa dengan gila-gilaan) untuk bisa memotret pesta perkawinan Sean Penn-Madonna itu.

Apakah paparazzi itu wartawan? Bukan. Mereka semata pedagang foto eksklusif. Bagaimana menghadapi paparazzi? Santai saja karena mereka sebenarnya cuma ingin memotret. Apakah kerja mereka dapat dibenarkan? Tergantung dari mana Anda memandang. Kalau Anda dikejar paparazzi, itu artinya Anda terkenal. Dan risiko terkenal adalah: Anda kehilangan privasi.

Tinggalkan sebuah Komentar

Bijak Menghadapi Kritik Media
Januari 2, 2011 pada 4:18 am (Jurnalistik Indonesia)
Tags: Jurnalistik Indonesia
Oleh Agus Sudibyo

Ali Sadikin adalah gejala tersendiri dalam konteks relasi antara pejabat publik dengan unsur masyarakat dan pers. Meski bukan figur yang tergolong ramah terhadap LSM dan media, Bang Ali selalu berusaha terbuka dan berpikiran positif terhadap kritik.

Sebagai gubernur DKI, Bang Ali bahkan merasa terbantu oleh kritik LSM dan media. Kritik membantunya mendapat gambaran sesungguhnya tentang kualitas pemerintahannya: pelayanan publik serta kelemahan dan penyelewengan di lapangan.

Dari anak-buahnya, para birokrat yang alergi kritik, hanya ada laporan bertipe asal bapak senang. Isinya, penyelenggaraan pemerintahan berjalan baik, normal, meski yang terjadi sebaliknya: sarat pelanggaran dan penyelewengan. Bang Ali paham laporan seperti ini hanya membuatnya keliru menganalisis keadaan dan mengambil keputusan. Ia justru mengandalkan masukan dan kritik eksternal saat mengevaluasi pemerintahannya.

Mentalitas Bang Ali sangat relevan ketika kita menghadapi respons negatif pemerintah terhadap kritik media belakangan ini. Tak diragukan lagi, peran media sungguh signifikan mengangkat kontroversi cicak versus buaya, kriminalisasi KPK, penalangan Bank Century, dan mafia peradilan. Pemberitaan media mampu meletakkan opini publik sebagai faktor determinan dalam pengambilan putusan di tingkat eksekutif ataupun legislatif.

Dihadapkan pada situasi seperti ini, yang diperagakan para pemimpin kita bukan mentalitas Bang Ali. Sebaliknya malah sikap reaktif dan tidak proporsional. Secara apriori dan tanpa rujukan yang jelas, mereka gemar melontarkan penilaian, seperti ”kebebasan pers telah kebablasan”, ”media melakukan tirani opini”, ”pers jangan menjadi provokator”, dan ”masyarakat makin kreatif memfitnah”.

Efek delegitimasi

Muncul kepanikan ketika kritik media menimbulkan efek delegitimasi signifikan terhadap unsur politik tertentu. Yang mengemuka bukan mawas diri dan kreativitas menghadapi paparan media, namun justru praduga, bahkan niat buruk. Ini terjadi ketika Wapres Boediono melontarkan gagasan sinergi TVRI, RRI dan Antara ke dalam satu institusi untuk membantu pemerintah mengimbangi kritik media massa. Tersirat keinginan menjadikan tiga lembaga itu sebagai instrumen politik pemerintah.

Gagasan ini jelas kontroversial dan kontraproduktif. Pertama, UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 menegaskan TVRI-RRI adalah lembaga penyiaran publik yang independen, netral, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Salah besar membayangkan fungsinya sebagai organ pemerintah guna mengimbangi kritik media komersial.

Fungsi penyiaran publik di mana pun menjalankan keutamaan publik: pendidikan kewargaan, ruang publik budaya, pemberdayaan sosial ekonomi. TVRI-RRI tak dapat diidentifikasi sebagai lembaga milik pemerintah sebab didanai APBN yang adalah dana publik, bukan dana pemerintah. Gagasan menjadikan TVRI-RRI instrumen politik pemerintah hanya lazim muncul dalam rezim otoriter. Gagasan ini menunjukkan ketakpahaman terhadap spirit kelembagaan penyiaran publik.

Kontrol

Kedua, dalam rezim yang demokratis, sudah pada tempatnya pers mengontrol pemerintah. Pers adalah perangkat masyarakat guna mengawasi penyelenggaraan kekuasaan dalam berbagai bentuk. Cara efektif menghadapi kritik pers bukanlah dengan menciptakan tandingannya atau mencoba membungkamnya melalui produk kebijakan. Satu-satunya cara: mereduksi tindakan, kebijakan, dan situasi yang dapat memicu kontroversi. Agar terhindar dari paparan negatif media, pemerintah jangan membuat kesalahan. Penuhi harapan publik akan pemerintahan efektif dan bersih!

Tentu ini tak berarti pemberitaan media sama sekali tak menguntungkan pemerintah. Pemberitaan media tentang fasilitas mewah narapidana berduit jelas memperkuat alasan Menhuk dan HAM menertibkan jajarannya. Kontroversi media tentang cicak versus buaya menghindarkan Presiden dari kesalahan fatal melemahkan KPK dan mengkriminalkan anggotanya.

Pemberitaan intensif tentang dana talangan Century pada sisi lain juga mengondisikan DPR benar-benar mengusut tuntas kasus ini. Persoalannya, apakah pejabat kita bermental Bang Ali. Apakah mereka mau melihat pers secara kritis, proporsional, dan konstruktif?

Dalam beberapa kasus, pers masih mengabaikan etika dan profesionalisme. Kelemahan ini cukup menuntut perbaikan kualitas pemberitaan media, tetapi jelas tak memadai mengintroduksi kebijakan yang antikebebasan pers. Keberatan pemerintah dan unsur politik terhadap pemberitaan media seharusnya didasari itikad memperbaiki kualitas ruang publik media sehingga adil terhadap semua pihak, bukan niat ”balas-dendam” atau hasrat membelenggu kebebasan media.

Agus Sudibyo Wakil Direktur Yayasan SET Jakarta

1 Komentar

Evolusi Menjadi Manusia Sarwaindra
Desember 31, 2010 pada 1:29 am (Jurnalistik Indonesia)
Tags: Jurnalistik Indonesia
Oleh: Tia Setiadi

Suatu hari pada September 1926, seorang pemuda Yahudi bernama Leopold Weiss sedang bepergian dengan kereta bawah tanah di Berlin. Dia menumpang kereta kelas satu. Sepintas lalu, Weiss memandang berkeliling pada orang-orang di sekitarnya. Tampak olehnya seorang lelaki berpakaian mentereng dengan tas tangan indah pada lututnya dan cincin berlian besar di jarinya. Weiss berpikir lelaki ini patut menjadi ukuran bagi kemakmuran yang tampak di mana-mana di Eropa tengah pada masa itu. Namun, tatkala Weiss memandang wajahnya, kelihatan lelaki itu rusuh, bukan hanya sekadar bingung, tetapi juga sangat menderita, dengan tatapan hampa ke depan.

Weiss mengalihkan pandang kepada penumpang lain, seorang wanita dengan kemewahan yang sama. Wanita ini pun menunjukkan air muka sendu, seolah sedang mengalami sesuatu yang membuatnya amat merana. Kemudian, Weiss melihat wajah-wajah lain yang berada di ruangan itu, orang-orang yang berpakaian keren dengan kelimpahan materi yang kentara. Dengan masygul, Weiss mengatakan, ”Hampir setiap orang dapat saya amati ekspresi penderitaan tersembunyi, begitu terpendam sehingga para pemilik wajah itu sendiri seolah-olah tak menyadari sama sekali.”

Ada sesuatu yang salah, demikian si pemuda Yahudi itu membatin. Barat telah mencapai prestasi-prestasi di bidang materiil, kemajuan sains, dan teknologi yang mahadahsyat, tetapi bersamaan dengan itu telah lenyap pula oasis-oasis spiritual dan tenaga kerohanian yang menyangga peradabannya. Kemajuan teknologi, di satu sisi telah meningkatkan kekuatan dan kekuasaan manusia secara luar biasa, tetapi di sisi lain ”kesenjangan moral” antara kekuatan fisik manusia untuk berbuat jahat dan kemampuan spiritualnya untuk mengendalikan kekuatan jahat itu menganga selebar rahang-rahang neraka.

Penemuan jati diri

Leopold Weiss lahir dan tumbuh dalam lanskap peradaban Barat yang tengah mengalami keretakan dan ketegangan moral semacam itu, dan ia gelisah. Ia merasa dahaga akan sesuatu yang lain, sesuatu yang tak hanya memuaskan kebutuhan-kebutuhan pancaindranya. Takdir pun membawa Weiss bertualang nun ke negeri-negeri jauh yang terletak antara Gurun Lybia dan puncak-puncak Pamir yang berselimut salju, antara Bosphorus dan Laut Arab. Kelak, tatkala Leopold Weiss sudah berganti nama menjadi Muhammad Assad dan menjadi seorang pemeluk Islam yang teguh, petualangannya itu akan diterakan dalam sebuah kitab menakjubkan bertajuk Road To Mecca.

Inilah kitab tentang kehilangan sekaligus penemuan kembali jati diri, tentang pertemuan-pertemuan yang ganjil tapi asyik, tentang pasir-pasir yang bergerak dan pohon-pohon Tamariska yang meliuk-lampai, tentang dajal dan jin, juga permenungan yang subtil ihwal Barat dan Islam, ihwal jiwa dan raga.

Ditata dengan kepiawaian literer seorang novelis dan penyair agung, menjadikan buku ini rumit sekaligus elok bercahaya bagaikan permata kuno. Di ujung jalan, lelaki ini menemukan apa yang dicarinya: cinta, kebersamaan, welas asih, dan kehadiran cahaya Tuhan di dunia yang hilang jiwa.

Bila disarikan dalam sebaris kalimat ringkas, kitab Road To Mecca bisa dikatakan sebagai rekaman perjalanan evolusi dari manusia pancaindra menuju manusia sarwaindra. Istilah manusia pancaindra dan manusia sarwaindra ini saya pinjam dari Gary Zukav dalam buku mungil yang sangat terkenal, The Seat Of The Soul (1990). Zukav mencuat pertama kali lewat buku The Dancing Wu Li Masters di mana ia mencoba mendapatkan senyawa dengan cantik antara sains Barat dan kearifan Timur.

Zukav mengabarkan bahwa kita kini tengah berevolusi dari manusia pancaindra menjadi manusia sarwaindra. Secara bersama-sama, kelima indra kita membentuk sistem sensori tunggal yang dirancang untuk menangkap realitas fisik. Persepsi manusia sarwaindra melampaui realitas fisik hingga ke sistem dinamika yang lebih besar yang melingkupi realitas fisik kita.

Masalahnya, manusia memilih bersikap angkuh kepada Bumi, bertindak seakan-akan Bumi ini miliknya dan akan menyediakan apa saja yang diinginkannya secara nirbatas. Manusia mencemari daratan, lautan, dan atmosfernya untuk memuaskan kebutuhannya sendiri tanpa hirau pada kebutuhan beraneka rona kehidupan lainnya. Itulah salah satu karakter yang menonjol dari manusia pancaindra.

Sementara itu, manusia sarwaindra mempunyai sikap yang takzim kepada Bumi. Takzim berarti menjalin relasi yang sakral dengan esensi segala sesuatu: manusia, planet-planet, bintang-bintang, gunung-gunung, dan burung-burung.

Tapi, kapan tepatnya manusia sarwaindra ini lahir? Kita akan menjawabnya bersama, dan segera.

Tia Setiadi Periset pada Parikesit Institute dan Manajer Program Balai Sastra Kecapi Yogyakarta

Tinggalkan sebuah Komentar

Cermin Retak Kemerdekaan Pers
Desember 30, 2010 pada 11:46 am (Jurnalistik Indonesia)
Tags: Jurnalistik Indonesia
Oleh: Agus Sudibyo

Di Tual, Maluku Tenggara, kontributor Sun TV tewas teraniaya saat meliput bentrok antarwarga.

Di Merauke, wartawan Merauke TV ditemukan tewas mengambang di sebuah sungai setelah dilaporkan hilang oleh keluarganya. Hasil otopsi menunjukkan adanya indikasi penganiayaan. Di Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, seorang wartawan mendapatkan teror akibat berita yang ditulisnya tentang pembalakan liar. Di Tangerang, wartawan Global TV dan Indosiar diancam akan dibakar hidup-hidup ketika sedang meliput kasus pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik.

Demikian cermin kemerdekaan pers pada momentum ulang tahun kemerdekaan RI, Agustus ini. Dari Sabang sampai Merauke, kita mendengar kisah sedih: kekerasan, intimidasi, bahkan pembunuhan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik. Benarkah kemerdekaan pers secara substansial sudah terwujud di bumi pertiwi?

Kemerdekaan pers harus diukur dari sejauh mana negara melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan tugasnya. Juga dari kesadaran semua pihak untuk menyelesaikan keberatan atas pemberitaan media secara beradab dan nir-kekerasan. Keselamatan wartawan masih masalah serius di Indonesia.

Dalam catatan Dewan Pers, kekerasan terhadap wartawan marak pada paruh pertama 2010. Kekerasan berupa intimidasi, pelecehan verbal, perusakan peralatan, menghalangi peliputan, penyekapan, penganiayaan fisik, hingga pembunuhan. Pelaku beragam: pejabat publik, staf instansi pemerintah, artis, warga masyarakat, dan preman yang mungkin disuruh pengusaha atau pejabat tertentu.

Faktor yang menonjol adalah lemahnya perlindungan negara terhadap profesi wartawan. Pemerintah juga lamban merespons tindakan kekerasan yang terjadi, bahkan dalam beberapa kasus cenderung membiarkan. Kedaluwarsanya kasus pembunuhan Udin, wartawan Bernas, Yogyakarta, contoh tak terbantahkan di sini. Wartawan bukan warga negara istimewa. Mereka bisa melakukan pelanggaran dan patut mendapatkan hukuman atas pelanggaran itu. Harus diakui, masih banyak wartawan tak profesional dan tingkah lakunya meresahkan berbagai pihak.

Namun, bukan berarti kekerasan terhadap wartawan dapat dibenarkan. Kekerasan tidak dapat dibenarkan pada siapa pun, apalagi terhadap mereka yang sedang menjalankan fungsi-fungsi publik. Pokok masalah ini yang sering dilupakan pemerintah yang telanjur apriori terhadap profesi wartawan dan sikap kritis media. Ketidaktegasan dan sikap apriori ini pula yang mengondisikan berbagai pihak tidak segan-segan melakukan tindakan premanisme dan vandalistis terhadap unsur-unsur media. Mereka adalah kelompok yang tidak menghendaki pelembagaan kemerdekaan pers di Indonesia karena selalu melihat kritisisme media sebagai ancaman terhadap kepentingan ekonomi-politik mereka yang telah mapan.

Siapa bertanggung jawab?

Negara berkewajiban melindungi prinsip kemerdekaan pers, termasuk melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan profesinya. Kemerdekaan pers adalah bagian fundamental kehidupan demokrasi, sekaligus tolok ukur peradaban suatu bangsa. Pemerintah tidak boleh memandang remeh tren kekerasan terhadap wartawan dan media yang meningkat belakangan.

Penegak hukum harus membuktikan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus kekerasan yang terjadi. Kepolisian harus secara konsekuen mengusut kekerasan dan teror yang terjadi guna memberikan keadilan bagi korban dan keluarga, serta mengembalikan rasa aman para wartawan dan media dalam menjalankan imperatif mewujudkan hak-hak publik atas informasi.

Dewan Pers bertugas menegakkan kode etik dan melindungi kemerdekaan pers. Menegakkan kode etik berarti harus bersikap tegas terhadap media atau wartawan yang melanggar. Melindungi kemerdekaan pers berarti mengadvokasi wartawan korban kekerasan, mencegah lahirnya regulasi anti-kebebasan pers, menjalin kesepahaman dengan kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain soal prinsip perlindungan kemerdekaan pers.

Pada akhirnya, media tempat wartawan bekerja juga harus bertanggung jawab. Dalam beberapa kasus, kekerasan terhadap wartawan merupakan reaksi atas tindakan tidak profesional dari wartawan itu sendiri: menghina narasumber, melanggar privasi, bahkan melakukan pemukulan. Sudahkah media membekali wartawannya dengan pemahaman komprehensif tentang etika dan profesionalisme media? Benarkah media tak membebani wartawannya dengan tuntutan kerja tak masuk akal sehingga mengondisikan mereka untuk mengabaikan etika peliputan?

Persaingan antarmedia untuk mendapatkan berita aktual dan eksklusif kian ketat. Wartawan di lapangan menanggung beban paling berat. Mereka harus berpacu mendapatkan informasi, sumber, gambar yang paling dramatis dan eksklusif. Dalam konteks ini, insiden sangat mungkin terjadi.

Sang wartawan nekat meliput situasi genting dengan mengesampingkan keselamatan diri. Heroisme ini patut dihargai, tetapi keselamatan jelas lebih prioritas. Maka, media bertanggung jawab memastikan bahwa yang meliput kerusuhan adalah wartawan yang berpengalaman menghadapi situasi darurat. Media bertanggung jawab memberikan fasilitas memadai dan pengetahuan cukup sehingga memudahkan wartawan menyelamatkan diri dari situasi darurat.

Agus Sudibyo Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers.

Tinggalkan sebuah Komentar
Read More

Jurnalisme Damai Hindari Kekerasan

Aparat Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Negara Republik Indonesia menangkap IF terkait kasus terorisme, khususnya temuan rangkaian bom di dekat Gereja Christ Cathedral, Serpong, Tangerang. IF dikenal sebagai kameramen Global TV yang terikat dengan etika jurnalistik.

IF diduga diajak untuk merekam peristiwa ledakan jika bom yang dipasang itu meledak. Bom di dekat Gereja Christ Cathedral, termasuk bom buku, selama ini diduga dirancang P. Ia juga diduga menjadi otak jaringan pelaku bom buku.

Terlepas dari penangkapan dan proses hukum terhadap IF, seorang wartawan, sesuai prinsip profesinya, sebenarnya dapat berhubungan dengan berbagai kalangan narasumber, termasuk teroris atau kelompok separatis. Misalnya, ada wartawan yang mewawancarai petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang pada masa lalu dianggap kelompok separatis dan musuh negara.

Akan tetapi, dalam berhubungan dengan berbagai narasumber, termasuk separatis atau teroris, wartawan tetap perlu menjaga jarak, berpegang pada etika jurnalistik, dan mengedepankan jurnalisme damai. Jurnalisme damai mengedepankan prinsip menghindari kekerasan, konflik, dan memegang prinsip nilai kemanusiaan.

Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Hubungan Luar Negeri Dewan Pers Bekti Nugroho, Senin (25/4) di Jakarta, mengatakan, wartawan dapat berhubungan dengan semua kalangan. Namun, ketika ada persoalan etika, seorang jurnalis harus mengambil sikap.

Sebagai contoh, jika ada orang yang menjadi korban tindak pidana, secara etis, wartawan perlu menolong korban, bukan hanya mengambil gambar atau meliput. ”Itu prinsip universal. Orang yang bukan wartawan pun harusnya membantu korban jikalau ada yang menjadi korban tindak pidana atau kekerasan,” tuturnya.

Prinsip etis wartawan diatur dalam Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers. Dalam kode etik itu antara lain diatur wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk.

Selain itu, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Kode etik jurnalistik juga mengatur wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Keberpihakan wartawan pada kode etik dan jurnalisme damai penting agar wartawan atau kalangan pers dapat memberikan kontribusi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Tanpa mengedepankan prinsip dasar itu, termasuk nilai kemanusiaan, pers pun berpotensi menjadi alat berbagai kepentingan yang ada, termasuk kepentingan teroris.

Dalam diskusi dan peluncuran buku berjudul Panduan Jurnalis Meliput Terorisme, pekan lalu, Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli mengatakan, peran pers sangat penting untuk ikut melakukan upaya deradikalisasi dan mengurangi perkembangan ideologi terorisme. Pers diharapkan dapat membangun kesadaran dan kemampuan masyarakat di segala lapisan untuk menyadari bahaya terorisme sehingga terorisme tidak berkembang. Apalagi, kelompok radikal atau teroris juga dapat memanfaatkan media untuk melakukan propaganda.

Oleh karena itu, pekerja media atau pers pun harus lebih berhati-hati dalam memberitakan terorisme
Read More

KERUSAKAN HUTAN DAN CARA MENGATASINYA

Penyebab dan Dampak Kerusakan Lingkungan
Penyebab dan Dampak Kerusakan Lingkungan
Kamis, 04 Januari 2007
Indonesia memiliki 10 persen hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12 persen dari jumlah spesies binatang menyusui/ mamalia, pemilik 16 persen spesies binatang reptil dan ampibi. 1.519 spesies burung dan 25 persen dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik (hanya dapat ditemui di daerah tersebut).
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].

Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85 persen dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003].

Bagaimana dengan Riau ? Sepanjang tahun 2004, seluas tidak kurang 1.008 hektare lahan di Riau hangus terbakar. Kebakaran yang terjadi itu telah menimbulkan kabut asap beberapa waktu lalu di kawasan Riau dan sekitarnya. Lahan yang terbakar tersebut seluas 1.008,51 hektar yang tersebar di enam daerah kabupaten dan kota, seperti Siak seluas 727,5 hektar, Bengkalis (152 ha), Rokan Hilir (80,75 ha), Indragiri Hilir (40,26 ha), Kota Pekanbaru (24 ha) dan Kota Dumai seluas 4 hektar. Peristiwa kebakaran hutan itu kembali terjadi pada awal tahun 2005 dengan kerugian yang tidak sedikit. (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) Provinsi Riau).

Dengan kerusakan hutan Indonesia, kita akan kehilangan beragam hewan dan tumbuhan yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sementara itu, hutan Indonesia selama ini merupakan sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia. Hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan serta menjadi tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan hilangnya hutan di Indonesia, menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, menunjukkan semakin tingginya tingkat kemiskinan rakyat Indonesia dan sebagian masyarakat miskin di Indonesia hidup berdampingan dengan hutan.






Pada tahun 1998, CIFOR, the International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan the United States Forest Service, dengan tambahan dana dari Uni Eropa, memulai studi multi disiplin yang difokuskan pada delapan lokasi rentan kebakaran di Sumatra dan Kalimantan. Untuk menentukan mengapa kebakaran bisa terjadi, siapa yang bertanggung jawab, bagaimana cara api menyebar dan jenis habitat mana yang paling berisiko.

Sebagian besar data ?hot-spot? kebakaran dan gambar satelit menunjukkan lautan api dimulai di daerah perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pulp, yang biasa menggunakan api untuk membersihkan lahan. Namun demikian, tampak jelas bahwa asal mula kebakaran juga dipicu oleh berbagai alasan. Konsesi-konsesi kayu, transmigrasi dan pembangunan perkebunan-perkebunan agro-industri membuka jalan masuk ke wilayah-wilayah yang sebelumnya terpencil. Ini mendorong peningkatan skala dan jumlah kebakaran.

Kekurangan peraturan formal yang mengatur hak-hak pemilikan umum dan swasta menyebabkan penggunaan api sebagai senjata dalam konflik-konflik kepemilikan lahan. Api juga digunakan oleh para pemilik lahan kecil untuk membersihkan lahan untuk menanam tanaman pangan dan industri, oleh para transmigran, oleh para peladang berpindah dan oleh para pemburu dan nelayan. Deforestasi dan degradasi hutan alam menyediakan sisa-sisa kayu yang mudah terbakar dan menciptakan bentang-darat yang lebih rentan api.

Ironisnya, realita ini juga diperparah dengan kondisi pemerintahan yang korup, dimana hutan dianggap sebagai sumber uang dan dapat dikuras habis untuk kepentingan individu. Sumber daya alam dijadikan asset ekonomi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Hal ini terlihat ketika dengan leluasanya Pemprov Riau menjual Pasir laut ke Singapura pada kurun waktu 1978 ? 2002 dengan menyisakan kerugian besar. Ribuan hektar ?tanah air? kita berpindah tempat, sementara penderitaan terdalam dirasakan oleh rakyat kecil. Pengerukan pasir laut ini, membuat ancaman serius terhadap sektor perikanan, wisata dan wilayah territorial. Parahnya, kerusakan lingkungan itu tidak diiringi upaya pemberdayaan lingkungan hidup baik oleh pemerintah atau pihak swasta yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia dan Riau pada khususnya. Justru sebaliknya malah menambah kerusakan lingkungan dengan membuang limbah industri dilahan masyarakat seperti sungai, laut atau daratan dan tindakan lain yang sifatnya merusak lingkungan.

Solusi dan Kesimpulan

Pencanangan program pemerintah yang dikoordinasikan oleh kantor Menneg LH, antara lain 7 kegiatan utama yakni bumi lestari, sumber daya alam lestari, program kali bersih, program langit biru, adipura, laut dan pantai lestari serta manajemen lingkungan memerlukan dukungan dan peran serta masyarakat luas dan instansi terkait serta masyarakat internasional dalam pelaksanaannya. Dalam kaitannya dengan “compliance and enforcement”, pembentukan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil/ PPNS Bidang Lingkungan, BAPEDAL juga menunjukkan kesungguhan dan komitmen pemerintah yang kuat.

Peringatan hari lingkungan hidup se-dunia dengan tema ? Green Cities ? pada 5 mei 2005 perlu diapresiasi dengan sikap aktif pro-aktif. Seyogyanya pemerintah pusat hingga pemerintah daerah melakukan aksi nyata dan tidak hanya ?panas dan meluap ? luap? pada konsep dan acara seremonial belaka. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Kota Pekanbaru dalam memperingati hari lingkungan hidup se-dunia dengan tema ??Gerakan Kota Bersih dan Hijau?? perlu dicontoh oleh kabupaten/ kota lain. Penghijauan kota dan lahan gundul serta penjagaan terhadap lingkungan laut menjadi prioritas mekanisme pembangunan bersih. Hal ini diyakini bahwa hutan merupakan paru-paru dunia yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat. Sedangkan laut diyakini menyimpan banyak potensi flora dan fauna yang menarik untuk dijadikan aset daerah dengan pendekatan ekowisata. Tentu pengelolaan yang rapi, sistemik dan berwawasan lingkungan menjadi ruh utama pembangunan.

Program pengentasan kemiskinan dan masalah kesehatan serta lingkungan hidup harus dilakukan segera dengan asumsi pemikiran bahwa salah satu penyebab kerusakan lingkungan hidup adalah kemiskinan yang akut di negara-negara berkembang. Tanpa penanganan yang komprehensif terhadap isu kemiskinan, maka upaya masyarakat internasional melaksanakan agenda pembangunan berkelanjutan akan sia-sia. Dalam kaitan ini, negara-negara berkembang prinsipnya sepakat bahwa kemiskinan adalah salah satu penyebab dari berbagai penyebab penting lainnya seperti pola konsumsi dan produksi yang tidak sustainable serta tidak tersedianya sumber keuangan dan teknologi yang memadai.

Pola pembangunan sebagai visi utama Gubernur Riau dengan formulasi K2i (Pembangunan pada sektor pemberantasan kebodohan, kemiskinan dan pembangunan infrastruktur) patut untuk diapresiasi. Namun konsep K2i itu perlu diterjemahkan dengan strategi pembangunan yang applicable. Sikap tegas dari Gubernur untuk melawan kebodohan dan kemiskinan jangan sampai hanya tinggal dipodium dan lembar pidato. Yang dibutuhkan saat ini adalah aksi rill dari pemerintah dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem bumi, dimana lingkungan hidup adalah mitra dari pembangunan daerah.

Kebijakan pemerintah untuk melakukan pembangunan daerah tidak hanya memperhatikan unsur ekonomi dan politik saja dengan mengesampingkan kepentingan lingkungan. Kita memang tidak bisa melakukan pemisahan antara elemen ? elemen tersebut. Gagasan Emil Salim (2002) dengan paradigma ekonomi dalam lingkungan cukup menarik untuk kita diskusikan. Menurutnya Pembangunan dengan orientasi ekonomi nasional tetap perlu digalakkan namun pemberdayaan lingkungan menjadi include didalamnya sebagai partner utama pembangunan berkelanjutan.

Kelembagaan lingkungan hidup yang sudah berdiri seperti Bapedalda dan lembaga non-pemerintah seperti WALHI, serta masyarakat luas perlu melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Pada sektor korporasi yang mengelola langsung sumber daya alam lokal, seperti CALTEX, RAPP, serta perusahaan ? perusahaan besar lainnya harus memperhatikan kesepakatan ISO-14000 yang mengamanahkan untuk meningkatkan pola produksi berwawasan lingkungan, membangun pabrik atau perusahaan hijau (green company) dengan sasaran keselamatan kerja, kesehatan dan lingkungan yang maksimal dan pola produksi dengan limbah nol (zero waste).

Meminjam AA? Gym, bahwa untuk melakukan apa yang dicita ? citakan tidak akan berhasil tanpa didukung oleh kesadaran manusianya. Maka dari itu - dalam kerangka memelihara lingkungan-mulailah dari yang kecil, seperti membuang puntung rokok pada tempatnya, Mulailah dari diri sendiri dan mulailah dari sekarang. Mari kita cintai diri kita dan makhluk lain dibumi dengan senantiasa menjaga dan memelihara lingkungan hidup.
Read More

Ribuan Warga Papua Kelaparan


Bayi usia 6 bulan digendong ibunya yang kekurangan ASI akibat krisis pangan yang melanda tempat tinggal mereka di Kampung Pogapa, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya, Papua, Sabtu (19/11).(foto:Dok/John Cutts)

--
JAKARTA - Ribuan warga, setidaknya di tiga distrik di Kabupaten Intan Jaya, Papua, dilaporkan terancam kelaparan. Cuaca buruk dalam beberapa bulan terakhir telah menghancurkan hasil pertanian warga dan menyebabkan krisis pangan. Bantuan dari pemerintah masih terhambat biaya.

Tiga distrik di Kabupaten Intan Jaya yang warganya dilaporkan oleh tokoh masyarakat dan dewan gereja kepada pemerintah kabupaten mengalami kelaparan adalah Distrik Homeyo, Distrik Wandai, dan Distrik Hitadipa.

Ketika dihubungi SH dari Jakarta, Selasa (22/11) malam, relawan sosial John Cutts yang baru tiba di Kabupaten Nabire dari Kabupaten Intan Jaya, mengungkapkan banyak warga kelaparan. John mengatakan, warga mengeluh mengalami kondisi seperti itu sejak lima bulan terakhir.
"Saya dengan mata saya sendiri, melihat mereka, anak-anak sudah kurus, punya rambut sudah memerah," kata John, yang tinggal di Tanah Papua sejak 1954. Warga Intan Jaya, menurut John, belum pernah mengalami cuaca buruk seperti yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir.

Tanaman yang ditanam warga untuk dikonsumsi, seperti ubi dan sayur, di kebun hancur akibat curah hujan yang begitu tinggi dari atas langit Kabupaten Intan Jaya dalam beberapa bulan terakhir. "Saya sudah masuk ke kebun (warga dan melihat) ubi jalar busuk di dalam tanah," ujar John.

Ia mengatakan, hujan memang sudah tiga minggu ini berhenti, namun cuaca buruk selama berbulan-bulan telah menghancurkan hasil pertanian. Krisis pangan pun tak terelakkan. Padahal, kata dia, warga butuh makanan untuk kembali bercocok tanam.

John mengatakan, warga di Kabupaten Intan Jaya kini sangat membutuhkan bantuan pangan. Dia, atas bantuan individu dan lembaga, di antaranya Yayasan Donor Kasih Indonesia, telah mengirimkan 10 ton beras, mi instan, minyak goreng, susu dan kacang kedelai. Ia mendengar, bantuan pemerintah sebanyak 3 ton beras masih tertahan di Nabire.

Dihubungi terpisah, Sekretaris Daerah Kabupaten Intan Jaya David Setiawan, mengatakan pemerintah telah mengirimkan tim guna mengecek ke wilayah-wilayah yang dilaporkan warganya mengalami krisis pangan sejak dua minggu lalu. Namun, kata dia, belum ada laporan masuk dari tim.

"Kelaparan belum, masih gejala," ujarnya. Menurut David, krisis pangan yang melanda warga Intan Jaya semata bukan hanya akibat cuaca buruk, melainkan warga yang sekarang ini tidak fokus menggarap pertanian.

David menjelaskan, jumlah penduduk Kabupaten Intan Jaya per Maret 2011 sebanyak 84.445 jiwa. Distrik Sugapa memiliki penduduk 19.285 jiwa, Distrik Homeyo 16.755 jiwa, Distrik Wandai 9.991 jiwa, Distrik Biandoga 16.861, Distrik Agisiga 11.058 jiwa, dan Distrik Hitadipa 12.495 jiwa.

Kepala Dinas Kesehatan dan Sosial Intan Jaya Yacob Sani mengatakan, kondisi warga telah dilaporkan kepada Bupati, berikut dengan proposalnya pada Agustus 2011. "Waktu itu Pak Bupati bilang karena tidak ada data dan dokumen, sehingga tidak serius tanggapi masalah itu," ujarnya.

Yacob mengatakan, pemerintah telah mengirimkan bantuan 3 ton beras, namun hingga kini masih tertahan di Nabire. "Kami tidak bisa salurkan karena membutuhkan biaya besar," ujarnya. Biaya carter pesawat paling murah Rp 26 juta.

Hingga sekarang, kata Yacob, pemerintah belum memiliki data jumlah penduduk di Kabupaten Intan Jaya yang mengalami kelaparan, seperti yang telah dilaporkan tokoh masyarakat dan dewan gereja kepada pemerintah. Kepala dari enam distrik di Intan Jaya hingga kini belum memberikan laporan.
Penulis : Ruhut Ambarita

[]
Read More




Judul : Uya Emang Kuya
Episode : Global
Pemain : Uya Kuya
Tayang : Senin sampai Jumat
Pkl. 15:00 - 16:00 WIB


UYA Emang Kuya adalah sebuah konsep tentang trik, intrik, dan komedi sebuah atraksi sulap. Di antaranya adalah street magic, yang menggambarkan suatu trik sulap on the spot atau langsung kepada audience, atau ilusi yang mengangkat trik sulap yang sangat mustahil. Nah segmen akhir tentu saja hipnosis, segmen yang menggambarkan trik di mana para audience dihipnotis dengan cara yang kocak maupun serius sesuai dengan kondisi.

Dan sampailah pada segmen terakhir yaitu ngerjain orang. Di sinilah segmen yang penuh kekocakan saat host sengaja mengerjai para penonton melalui media hipnotis atau media lainnya. Seperti apa serunya Uya Emang Kuya? Temukan jawabannya hanya di saluran Satu untuk Semua.
Read More

INPAS Laporkan Mendikbud ke Kejagung


Bogor (ANTARA News) - Kementerian Pendidikan Nasional mendapatkan satu wakil menteri lagi yang khusus membidangi kebudayaan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam audiensi dengan para calon wakil menteri di rumah pribadinya Puri Cikeas Indah, Bogor, Sabtu malam, menunjuk Profesor Arsitektur dan Perencanaan Pariwisata di Departemen Arsitektur Universitas Gadjah Mada, Wiendu Nuryanti, untuk menjabat wakil menteri bidang kebudayaan Kementerian Pendidikan Nasional.

Usai audiensi, Wiendu mengatakan bahwa Presiden mengamanatkan kepadanya untuk membangun kebudayaan Indonesia agar mendapat ruang yang sentral sebagai salah satu pilar-pilar terpenting dalam pembangunan bangsa dan negara.

"Bahwa kebudayaan dalam arti luas di Indonesia memerlukan adanya satu perumusan kebijakan-kebijakan yang nantinya akan diikuti dengan program-program strategis secara menyeluruh," tuturnya.

Wiendu sebelumnya telah menjabat konsultan senior di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Kementerian Pendidikan Nasional, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan.

Ia juga ditunjuk oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata untuk menyusun rencana 15 tahun kebijakan pengembangan kebudayaan dari periode 2010 hingga 2025.

Bersama dengan wakil menteri bidang pendidikan, kata Wiendu, nantinya ia akan membantu Menteri Pendidikan Nasional untuk merumuskan agar pendidikan dan kebudayaan menjadi salah satu faktor yang mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat.

Sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik menyatakan, pada formasi baru Kabinet Indonesia Bersatu II hasil perombakan akan terjadi perubahan struktur organisasi dan perubahan nomenklatur pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata serta Kementerian Pendidikan Nasional.
Read More

NPAS Laporkan Mendikbud ke Kejagung


Jakarta (ANTARA) - LSM Indonesia Pemantau Aset (INPAS) melaporkan Mendikbud ke Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi proyek Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas) yang diindikasikan merugikan keuangan negara senilai Rp69,5 miliar.

Menurut Direktur Eksekutif INPAS Boris Korius Malau, di Jakarta, Selasa, pihaknya telah melaporkan kasus tersebut ke Kejaksaan Agung pada Senin (21/11) dengan bukti laporan Nomor 025/LAPORAN/INPAS/PST/XI/2011.


Selain Mendikbud, ujar Boris, pihaknya juga melaporkan Direktur Utama PT Telkom sebagai perusahaan pelaksana dan beberapa pejabat yang diduga terlibat seperti Kepala Pustekkom, Kepala BPKP, panitia pengadaan barang dan jasa dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek Jardiknas.

Dalam laporan itu diungkapkan bahwa Mendikbud dan Kepala Pustekom telah menerbitkan kesepakatan untuk melakukan pembayaran atas tagihan yang diajukan PT Telkom diluar kontrak senilai Rp69,5 miliar.

"Terhitung sejak tahun 2006 hingga 2008, Kemendiknas bekerja sama dengan PT Telkom Indonesia Tbk sebagai rekanan pelaksana telah menandatangai kontrak sewa jasa bandwith mencapai Rp274,2 miliar yang terbagi dalam beberapa paket," ujar Korius.

Namun, menurut dia, pada tahun 2008 PT Telkom mengklaim adanya pemakaian banwidth Jardiknas di Kemendiknas tahun 2007-2008 di luar kontrak yang kemudian mengajukan tagihan sebesar Rp96,5 miliar.

Atas tagihan itu, setelah dilakukan audit dan koreksi oleh BPKP, Mendikbud selanjutnya memberi kuasa kepada Kepala Pustekkom melakukan perjanjian penyelesaian pembayaran tagihan PT Telkom senilai Rp65,5 miliar.

"Permasalahannya, terbitnya surat kuasa dari menteri dan surat perjanjian yang dikeluarkan Kepala Pustekom untuk pembayaran tagihan PT Telkom mengindikasikan telah terjadi perbuatan melawan hukum oleh Mendikbud dan Kepala Pustekkom yang membebani APBN sebesar Rp69.549.965.802," ujar Boris.

Hal tersebut dinilai INPAS bertentangan dengan Keppres 80 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa setiap pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah yang dilaksanakan oleh penyedia barang dan jasa seharusnya dituangkan dalam perjanjian antara pemberi kerja dengan yang melaksanakan pekerjaan.


Selain itu, Boris menambahkan, perjanjian itu bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, dimana Pasal 3 ayat (3) UU itu menyatakan bahwa setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.

INPAS menduga adanya niat tidak baik dari PT Telkom sebagai perusahaan yang sudah go publik untuk menggerogoti uang negara dengan modus memunculkan tagihan yang tidak terikat dalam kontrak.

"Sangat aneh ketika perusahaan sekaliber PT Telkom melakukan pekerjaan tanpa kontrak. Kami menduga bahwa telah terjadi konspirasi antara Kemendikbud dan PT Telkom untuk mencairkan uang negara dengan cara-cara tidak sah dengan memberdayakan hasil Audit BPKP," ujarnya.

Karenanya, Boris menambahkan, pihaknya mendesak Kejaksaan Agung untuk mengusut tuntas kasus ini sesuai dengan bukti awal yang telah disampaikannya, di antaranya hasil audit BPK.



Berita Ini Sudah Diterbitkan di :

http://id.berita.yahoo.com/inpas-laporkan-mendikbud-ke-kejagung-071422115.html

http://www.harianterbit.com/artikel/rubrik/artikel.php?aid=138123

http://www.antaranews.com/berita/286056/inpas-laporkan-kasus-jardiknas-ke-kejagung

http://portalkriminal.com/index.php?option=com_content&task=view&id=16796&Itemid=index.php?option=com_content&view=article&id=16796
Read More