Jumat, 18 Februari 2011

Merajut Hidup dengan Bambu


Lelaki tua berkacamata itu menghadap tampah yang belum selesai. Di sekelilingnya bambu-bambu yang telah dibersihkan dan dipotong tergeletak. Cekatan tangan ringkihnya menganyam bambu itu menjadi tampah. Sementara, di ruang rumahnya yang lain, tumpukan tampah yang telah jadi siap dilepas kepada pembeli.

Ya, begitulah kegiatan sehari-hari Abdul Rahman (67). Membuat tampah dan kerajinan bambu lainnya memang wajib dia lakukan untuk menghidupi keluarganya. Memiliki banyak anak baginya adalah sebuah rezeki. Dan, menghidupi serta menyekolahkan delapan anak yang dimilikinya adalah sebuah usaha. Putus asa pun harus dibuangnya dari kamus hidup.

Ya, banyak orangtua yang tak mampu menyekolahkan anaknya karena berpenghasilan rendah. Namun, Abdul Rahman yang merupakan warga Jalan Bangau, Lingkungan IX, Kelurahan Mencirim, Kecamatan Binjai Timur, tak mau menyerah dengan keadaan. Untuk menghidupi dan menyekolahkan delapan anaknyanya, sejak tahun 1980-an ia pun membuat kerajinan bambu.

Upaya Abdul Rahman untuk menyekolahkan delapan orang anaknya memang dapat patut mendapat apresiasi positif. Pasalnya, ‘hanya bambu’, ia dapat menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. “Kalau tak buat tampah, badan bisa pegal-pegal,” buka Abdul Rahaman kepada Sumut Pos belum lama ini.

Keahlian Abdul Rahman membuat kerajinan tampah dari bambu itu sudah didapatnya sejak kecil saat ia tinggal bersama orang tua dan empat orang adiknya. Bahkan saat berumur belasan tahun, Abdul Rahman sudah ditinggalkan oleh kedua orangtuanya dan harus menghidupi empat adik yang masih kecil-kecil. Karena itulah, Abdul Rahaman kecil tak memiliki sejarah pendidikan yang tinggi. Dirinya tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Ia berhenti di bangku Klas VI Sekolah Rakyat (SR). Keadaan itu membuat Abdul Rahman habis-habisan. Dirinya pun tidak bisa mengandalkan pekerjaan membuat bambu semata. Dia harus mencari pekerjaan lain demi kehidupan adik-adiknya. Dia bekerja serabutan sambil terus membuat tampah. Intinya, di mana orang membutuhkan tenaga, maka dirinya siap bersedia.

Umur Abdul Rahman semakin bertambah. Abdul Rahman menikah dengan seorang gadis yang bernama Rinta Wati. Menariknya, keempat adiknya pun berhasil dia nikahkan. “Setelah semua adik saya menikah, saya merasa senang sebab tanggung jawab saya sudah lepas. Sekarang, bagaimana saya bisa menghidupi keluarga,” kenang Abdul Rahman.

Nah, setelah keempat adik Abdul Rahman hidup bersama keluarganya masing-masing, akhirnya Abdul Rahman mencoba terobosan baru. Abdul Rahman memberanikan diri bermain buah sawit dan saat itu dirinya sempat berhasil. Namun, semakin lama usaha itu dilakoninnya, semakin banyak juga saingan. Untuk selanjutnya, Abdul Rahman dan istrinya membeli becak dayung untuk berjualan buah pisang ke pasar Kota Binjai. Dan, usaha ini ternyata sempat membawa Abdul Rahman dan keluarganya sedikit mapan.

Sayang, cobaan kembali menghampiri Abdul Rahman. Istrinya jatuh sakit pada 2006 lalu saat mengandung anak terakhirnya. “Semenjak istri saya sakit, kami tidak bisa jualan. Akhirnya, lapak jualan diambil orang dan langganan kamipun sudah entah kemana. Dikarenakan umur sudah tua, akhirnya saya kembali membuat kerajinan ini sampai sekarang,” ungkap Abdul Rahman.

Membuat tampah dari bambu, kata Abdul Rahman, hanya dapat untuk memberi makan delapan orang anak dan istrinya. Sementara, untuk membiayai sekolah anak terpaksa meminjam uang dari koperasi keliling. “Memang saya dari dahulu sudah berniat agar anak saya semuanya dapat sekolah, paling tidak sampai tamat SMA. Syukur, semua anak saya dapat sekolah sampai tamat SMA dan saat ini satu orang anak saya masih sekolah di perguruan tinggi,” ujarnya.

Abdul Rahman bercerita, pada masa dahulu, kerajinan bambu ini harganya cukup murah, hanya Rp1000. Bahkan, untuk menjualnya juga susah. Terkadang, tampah yang dibawa ke pasar tidak laku. “Menyikapi hal itu, saya tetap sabar dan terus berusaha Sebab, itulah tanggung jawab sebagai orangtua,” ujarnya.(dan)



Jadikan Pekerjaan sebagai Ilmu

Abdul Rahman, yang sejak kecil sudah merasakan kehidupan pahit, tidak ingin kehidupannya itu kembali dirasakan oleh anaknya. Ia pun selalu memberi semangat dan nasehat kepada delapan anaknya tersebut agar bangkit dari kehidupan pahit dengan kerja keras tanpa memandang pekerjaan.

“Setiap kali anak saya meranjak dewasa, saya selalu memberi nasehat agar tetap hidup semangat dan jangan memilih-milih pekerjaan. Jadikanlah setiap pekerjaan itu sebagai ilmu tanpa memikirkan imbalannya terlebih dahulu. Hal inilah yang selalu saya sampaikan kepada anak saya,” ungkapnya.

Di umurnya yang sudah terbilang renta, Abdul Rahman memang masih terlihat semangat. Sampai saat ini, ia tetap mengerjakan tampah. Namun, untuk saat ini, Abdul Rahman sudah dapat sedikit bernafas lega. Sebab, kedelapan anaknya sudah dewasa dan dapat membantunya membuat kerajinan bambu yang bersejarah itu.

“Pekerjaan bambu ini yang berat hanya satu. Yakni, mengambil bambunya kita harus pergi ke hulu sungai. Kalau dulu saya hanya seorang diri, tetapi sekarang segala sesuatunya saya sudah banyak dibantu oleh anak-anak saya. Mulai dari mengambil bambu, membelah bambu, bahkan sampai menyelesaikan 30 buah tampah satu harinya,”ucapnya.
Semangat yang dimiliki Abdul Rahman, ternyata diambil dari kata-kata orangtua terdahulu. Dimana, setiap anak itu adalah rezeki dan memiliki rezeki. “ Tentunya dengan kerja bersungguh-sungguh, semangat, dan tetap berdoa kepada sang pencipta,” pungkasnya.

0 komentar:

Posting Komentar