- Setelah menjelajahi antariksa selama 3 bulan 21 hari untuk membakar habis bahan bakar dan melakukan putaran terakhir, dua wahana antariksa milik badan antariksa Amerika Serikat (NASA) akhirnya menemui ajalnya di sebuah kawah bulan, Jumat lalu. Roket pendorong Atlas V Centaur dan satelit LCROSS (Lunar Crater Observation and Sensing Satellite) itu sengaja ditabrakkan ke Cabeus, kawah di kutub selatan bulan.
Sebuah roket seberat dua ton yang telah kosong ditabrakkan ke kawah yang selalu diliputi kegelapan itu pada 11.31 GMT. Kematian wahana pencari air itu tidak sia-sia. Sebuah awan debu raksasa setinggi 5 kilometer dari permukaan bulan tercipta dari tumbukan hebat itu.
Tumbukan itu sengaja dilakukan untuk menghasilkan awan kabut dan debu yang tercipta dari lapisan es di kawah tersebut. Wahana kedua, LCROSS, yang terbang menembus awan itu dan menabrak titik yang sama tepat empat menit setelah Centaur menabrak Cabeus. Ketika melintasi awan pecahan es dan debu bulan itu, instrumen LCROSS--spektrometer inframerah, spektrometer cahaya, kamera inframerah, kamera video, dan radiometer--mengumpulkan dan mengirimkan data yang diterima teleskop, baik di antariksa maupun di bumi. Data itulah yang dapat menunjukkan apakah ada es di kawah bulan tersebut.
Meski LCROSS berhasil mengirimkan data dari awan debu hasil tumbukan hebat itu, para ilmuwan belum bisa memastikan apakah misi yang dirintis sejak April 2006 ini sukses mencapai target. NASA menyatakan perlu sedikitnya dua bulan untuk menyimpulkan apa yang ditemukan oleh satelit pencitraan dan observasi kawah bulan itu ketika menabrak bulan. Mereka berharap bisa menemukan air yang cukup banyak untuk mendukung rencana NASA kembali mengeksplorasi bulan.
Instrumen inframerah pada satelit itu menunjukkan adanya pancaran panas yang mengindikasikan kawah selebar sekitar 18-20 meter. Data spektroskopis yang dikirimkan LCROSS akan memperlihatkan unsur apa yang terdapat dalam kawah dan bagaimana unsur itu berubah karena panas tumbukan pertama. "Ketika LCROSS terbang menembusnya, kawah itu masih berkilau panas, yang berarti es, kolam air, atau unsur apa pun itu, unsur itu berubah menjadi gas," kata Tony Colaprete, penyelidik utama misi itu. "Kami memperoleh data yang kami butuhkan."
Tetapi transmisi video dari LCROSS tidak berhasil memperlihatkan ledakan pecahan es dan debu bulan. "Kami tidak melihat semburan besar seperti yang diinginkan," kata Michael Bicay, direktur sains di Ames Research Center, NASA. Para ilmuwan belum tahu apakah semburan itu tidak terjadi atau terlalu kecil dan tersembunyi sehingga tak terlihat dalam video ketika Centaur menabrak bulan.
Tinjauan data awal dari Hubble Space Telescope pun mengindikasikan tak ada tanda air dalam serpihan yang terlontar akibat tumbukan itu, kata NASA, Jumat malam lalu. Tetapi para ilmuwan menambahkan bahwa studi lebih lanjut diperlukan untuk memastikannya.
NASA amat berharap program senilai US$ 79 juta itu dapat membantu mengubah pandangan manusia tentang bulan. Penemuan tanda terbaru adanya air di bulan telah menghancurkan gagasan bahwa bulan tak bisa ditinggali manusia. Bukti adanya es akan membuka peluang baru bagi perjalanan ke antariksa, termasuk rencana NASA untuk kembali ke bulan dan membangun pangkalan di bulan akan lebih murah karena dapat memanfaatkan air bulan. "Air adalah energi penting," kata ilmuwan Victoria Friedensen. "Air dapat digunakan untuk membuat bahan bakar."
Tiga studi yang dirilis September lalu menemukan bukti adanya air di bulan, tapi jumlah air yang terikat dengan debu itu amat minim. "Tidak cukup untuk digunakan secara ekonomis," kata Direktur Lunar Science Institute NASA David Morrison.
Akhir September lalu, analisis terhadap data yang dihimpun Moon Mineralogy Mapper, alat pengindraan jauh yang dititipkan NASA di satelit Chandrayaan-1 milik badan antariksa India, dipublikasikan. Studi itu mengungkap keberadaan air di bulan, tapi bentuknya bukan air seperti yang kita temui di bumi, melainkan berupa molekul-molekul air dan hidroksil (OH), yang berinteraksi dengan debu dan batuan bulan. Itu berarti air di bulan hanya terdiri atas satu atom hidrogen dan satu atom oksigen, bukan dua atom hidrogen dan satu atom oksigen (H2O) yang biasa ditemukan dalam air.
Jurnal Science juga memuat hasil penelitian serupa dari dua satelit bulan, Deep Impact dan Cassini. "Itu bukan air liquid, bukan pula air beku dan bukan air dalam bentuk gas. Air bulan bukan salah satu di antaranya," kata Jessica Sunshine dari University of Maryland-College Park.
Memompa atau menyedot air seperti yang biasa dilakukan di bumi pun tak bisa dilakukan untuk memperoleh air bulan. Meski dikatakan 1 meter kubik tanah disebut-sebut bisa diperas untuk menghasilkan 1 liter air, prosesnya tidak gampang.
Itulah sebabnya, NASA masih menaruh harapan pada lapisan air dalam bentuk es yang diduga tersembunyi dalam kawah Cabeus dekat kutub selatan bulan, jauh dari pancaran cahaya matahari. Diperkirakan konsentrasi es dalam tanah yang dapat digunakan sebagai sumber air mencapai 2-3 persen. "Sebuah tempat di mana sinar matahari tak pernah singgah selama miliaran tahun," kata Morrison.
Sebuah roket seberat dua ton yang telah kosong ditabrakkan ke kawah yang selalu diliputi kegelapan itu pada 11.31 GMT. Kematian wahana pencari air itu tidak sia-sia. Sebuah awan debu raksasa setinggi 5 kilometer dari permukaan bulan tercipta dari tumbukan hebat itu.
Tumbukan itu sengaja dilakukan untuk menghasilkan awan kabut dan debu yang tercipta dari lapisan es di kawah tersebut. Wahana kedua, LCROSS, yang terbang menembus awan itu dan menabrak titik yang sama tepat empat menit setelah Centaur menabrak Cabeus. Ketika melintasi awan pecahan es dan debu bulan itu, instrumen LCROSS--spektrometer inframerah, spektrometer cahaya, kamera inframerah, kamera video, dan radiometer--mengumpulkan dan mengirimkan data yang diterima teleskop, baik di antariksa maupun di bumi. Data itulah yang dapat menunjukkan apakah ada es di kawah bulan tersebut.
Meski LCROSS berhasil mengirimkan data dari awan debu hasil tumbukan hebat itu, para ilmuwan belum bisa memastikan apakah misi yang dirintis sejak April 2006 ini sukses mencapai target. NASA menyatakan perlu sedikitnya dua bulan untuk menyimpulkan apa yang ditemukan oleh satelit pencitraan dan observasi kawah bulan itu ketika menabrak bulan. Mereka berharap bisa menemukan air yang cukup banyak untuk mendukung rencana NASA kembali mengeksplorasi bulan.
Instrumen inframerah pada satelit itu menunjukkan adanya pancaran panas yang mengindikasikan kawah selebar sekitar 18-20 meter. Data spektroskopis yang dikirimkan LCROSS akan memperlihatkan unsur apa yang terdapat dalam kawah dan bagaimana unsur itu berubah karena panas tumbukan pertama. "Ketika LCROSS terbang menembusnya, kawah itu masih berkilau panas, yang berarti es, kolam air, atau unsur apa pun itu, unsur itu berubah menjadi gas," kata Tony Colaprete, penyelidik utama misi itu. "Kami memperoleh data yang kami butuhkan."
Tetapi transmisi video dari LCROSS tidak berhasil memperlihatkan ledakan pecahan es dan debu bulan. "Kami tidak melihat semburan besar seperti yang diinginkan," kata Michael Bicay, direktur sains di Ames Research Center, NASA. Para ilmuwan belum tahu apakah semburan itu tidak terjadi atau terlalu kecil dan tersembunyi sehingga tak terlihat dalam video ketika Centaur menabrak bulan.
Tinjauan data awal dari Hubble Space Telescope pun mengindikasikan tak ada tanda air dalam serpihan yang terlontar akibat tumbukan itu, kata NASA, Jumat malam lalu. Tetapi para ilmuwan menambahkan bahwa studi lebih lanjut diperlukan untuk memastikannya.
NASA amat berharap program senilai US$ 79 juta itu dapat membantu mengubah pandangan manusia tentang bulan. Penemuan tanda terbaru adanya air di bulan telah menghancurkan gagasan bahwa bulan tak bisa ditinggali manusia. Bukti adanya es akan membuka peluang baru bagi perjalanan ke antariksa, termasuk rencana NASA untuk kembali ke bulan dan membangun pangkalan di bulan akan lebih murah karena dapat memanfaatkan air bulan. "Air adalah energi penting," kata ilmuwan Victoria Friedensen. "Air dapat digunakan untuk membuat bahan bakar."
Tiga studi yang dirilis September lalu menemukan bukti adanya air di bulan, tapi jumlah air yang terikat dengan debu itu amat minim. "Tidak cukup untuk digunakan secara ekonomis," kata Direktur Lunar Science Institute NASA David Morrison.
Akhir September lalu, analisis terhadap data yang dihimpun Moon Mineralogy Mapper, alat pengindraan jauh yang dititipkan NASA di satelit Chandrayaan-1 milik badan antariksa India, dipublikasikan. Studi itu mengungkap keberadaan air di bulan, tapi bentuknya bukan air seperti yang kita temui di bumi, melainkan berupa molekul-molekul air dan hidroksil (OH), yang berinteraksi dengan debu dan batuan bulan. Itu berarti air di bulan hanya terdiri atas satu atom hidrogen dan satu atom oksigen, bukan dua atom hidrogen dan satu atom oksigen (H2O) yang biasa ditemukan dalam air.
Jurnal Science juga memuat hasil penelitian serupa dari dua satelit bulan, Deep Impact dan Cassini. "Itu bukan air liquid, bukan pula air beku dan bukan air dalam bentuk gas. Air bulan bukan salah satu di antaranya," kata Jessica Sunshine dari University of Maryland-College Park.
Memompa atau menyedot air seperti yang biasa dilakukan di bumi pun tak bisa dilakukan untuk memperoleh air bulan. Meski dikatakan 1 meter kubik tanah disebut-sebut bisa diperas untuk menghasilkan 1 liter air, prosesnya tidak gampang.
Itulah sebabnya, NASA masih menaruh harapan pada lapisan air dalam bentuk es yang diduga tersembunyi dalam kawah Cabeus dekat kutub selatan bulan, jauh dari pancaran cahaya matahari. Diperkirakan konsentrasi es dalam tanah yang dapat digunakan sebagai sumber air mencapai 2-3 persen. "Sebuah tempat di mana sinar matahari tak pernah singgah selama miliaran tahun," kata Morrison.
0 komentar:
Posting Komentar