Tidak jauh dari Simandino, Tim Sumatra Utara 2 mengunjungi salah satu budaya yang tak kalah bersejarah di pulau Samosir. Desa Ambarita, begitu masyarakat Samosir menyebutnya. Di desa ini dahulu terdapat sebuah kerajaan kecil, karena saat Indonesia belum merdeka hampir disetiap tempat di Sumatra Utara mempunyai rajanya masing-masing dan salah satunya adalah Ambarita.
Di pelataran yang besar ini berdiri beberapa rumah khas Batak Toba dan salah satunya adalah rumah raja Ambarita, rumah tersebut terlihat berbeda dengan rumah-rumah yang ada disekitarnya. Yang membedakan rumah tersebut adalah teras didepan rumah, karena untuk rumah masyarakat biasa tidak terdapat teras depan tetapi berbeda dengan rumah raja. Disamping itu dibawah rumah raja terdapat penjara dan tempat untuk memasung orang jahat yang kelak akan diadili. Alasan kenapa penjara dan tempat pemasungan berada tepat dibawah rumah raja karena raja mempunyai kerabat yang banyak dan bila ada tamu yang berkunjung bisa melihat tawanan, serta tidak memungkinkan tamu yang datang adalah kerabat dari si penjahat jadi hukuman bisa menjadi ringan setlah ada proses negoisasi.
Didepan rumah raja terdapat kursi batu tempat melakukan persidangan terhadap tawanan atau pertemuan. Di bawah pohon besar ini terdapat beberapa kursi yang terbuat dari batu dan kelak dari tempat akan diputuskan kebijakan-kebijakan raja. Salah satu kebijakan yang mengerikan adalah hukuman mati bagi tawanan atau penjahat yang sudah ditangkap dan dipenjara. Hukuman mati tidak sembarangan dikeluarkan, dilihat apakah kesalahan dan perbuatannya dapat dimaafkan atau tidak.
Bila sudah dijatuhkan hukuman mati maka tidak ada yang bisa mengganggu gugat keputusan itu. Sebelum dihukum mati, biasanya yang dihukum mati adalah penjahat, dukun yang meresahkan masyarakat, serta orang-orang yang memiliki ilmu hitam. Setelah keputusan dijatuhkan, biasanya orang yang akan dihukum diberikan makan yang enak dan minum tuak setelah diberi tuak maka pikirannya akan kosong dan menjadi mabuk, pada saat itu ia dieksekusi. Sementara itu para tetua kampung mencar hari yang tepatt untuk eksekusi mati, dan pada jaman itu masyarakat Ambarita sudah memiliki kalender 12 bulan dan 30 hari untuk menentukan tanggal eksekusi.
Bila kasusnya sudah besar maka proses eksekusi dijadwalkan jauh-jauh hari agar semua masyarakat tahu dan dapat menyaksikan hukuman itu, gunanya agar rakyat tahu bahwa yang dilakukan orang tersebut sudah salah dan bertentangan dengan norma adat Ambarita. Tim ACI Sumatra Utara 2 mendapatkan kesempatan untuk melihat tempat dilaksanakannya hukuman mati tersebut, Kamis (30/9). Tempatnya tidak jauh dari kompleks rumah raja.
Pada kondisi mabuk tadi, orang yang akan dihukum ditidurkan diatas batu besar dan tubuhnya ditikam dengan pisau kecil, guna mengetahui apakah dengan pisau itu ia bisa dilukai. Bila tidak berarti orang tersebut mempunyai ilmu, karena masyarakat dulu banyak yang yang mempunyai kesaktian sampai tubuhnya tidak bisa dilukai. Setelah dilukai dengan pisau dan badannya disayat dan bila sudah muncul darah menandakan kesaktiannya sudah hilang dan diberi tetesan limau agar terasa sakit, maka ia kemudian kepalanya akan dipenggal dan serta darahnya ditampung. Setelah itu kepalanya akan diarak keliling kampung juga sebagai pelajaran bahwa orang yang sudah berbuat salah dan melanngar aturan yang ada akan mendapatkan hukuman seperti ini. (Parlin Ambarita)
Kursi Batu, disinilah para tawanan diadili dan tempat berbincang ketika ada tamu
Alat yang digunakan untuk eksekusi (ki-ka) ulos untuk menutup mata tawanan, kapak untuk memenggal kepala, pisau kecil untuk menyayat, buku mantra, dan kalender Amabarita, serta tongkat.
Ruangan tempat memasung dan memenjarakan tawanan
dang jelas cerita mi kawan,
BalasHapustang songoni cerita na cesss
Mantap Ambarita
BalasHapus