CERPEN
Seminggu ini warga Kampung Nelayan sibuk menggali pemakaman untuk menguburkan jasad suami-suami mereka. Alhasil, hampir tiap malam, ba’da Isya, warga akan segera memenuhi mushola di ujung tebing untuk melakukan shalat gaib. Sesungguhnya mereka hanya akan berdoa buat siapapun yang tak pernah mereka temukan lagi.
Di Kampung Nelayan yang gerbangnya diciptakan oleh angin dan aspalnya tak lebih dari sekadar pasir putih yang mudah lapuk; hanya tersedia beberapa bangunan yang masih utuh. Sisanya cuma puing-puing gubuk dan bekas-bekas tenda pengungsian yang sudah berubah fungsi menjadi alas tidur dan pakaian. Keriuhan yang kadang terjadi akibat orang-orang yang saling melelang ikan tak terlihat lagi. Lantas, kampung ini tak pernah disinggahi orang kecuali anggota reserse atau tim SAR.
Sementara, di ujung batas langit, tak ada lagi sisa-sisa siluet yang terhubung antara Kampung Nelayan dengan mata pencaharian yang sebentar lagi juga bakal remuk redam. Tak ada yang diharapkan kecuali mimpi. Meski mimpi itu berulang kali melarikan diri dari kenyataan. Kenyataan pahit Sawitri yang ironisnya tak pernah mau ikut dalam shalat gaib.
“Melakukan itu sama artinya mendoakan suami-suami kita meninggal!” katanya pada orang-orang di pasar.
Lantas ia pergi tanpa membawa apapun kecuali kemarahan yang tiap kali mencengkeram kepalanya. Dadanya sekarang sesak oleh nikotin yang ia tabung setiap sore. Sore, di tepi pantai yang surut. Di antara kehidupan yang lari, dan kehidupan yang tak pernah ia jalani sebagaimana seorang isteri.
Karena bulan lalu, ia barusan menikah. Dan sekarang, pernikahan itu harus diakhiri–diawali, mungkin–dengan penantian yang berat. Dan terkadang sangat menyakitkan.
Persoalan mengenai kepercayaan mungkin menjadi persoalan yang berat. Tapi ia adalah wanita perkasa yang bahkan mampu memikul gunung sekalipun. Sore yang ia rasakan mungkin lebih berat ketimbang gunung. Tapi nyatanya, ia memang selalu memberikan kesempatan bagi sore yang tiap hari datang. Sebuah warna sunyi di balik burung-burung camar yang menghilang di tengah kosmos yang tengah terancam.
Baginya, tak peduli apakah yang datang itu anggota reserse, tim SAR, pejabat, atau Presiden. Ia hanya memperdulikan satu hal dalam hidupnya. Ia yang diharapkan kembali nyatanya tak pernah kembali. Juga bersama puluhan isteri yang tertinggal begitu saja tanpa surat ataupun ciuman di pipi.
“Ah, mereka sama sekali tak memberikan kenyataan. Yang aku tahu, mereka hanya menyodorkan kata-kata untuk membela kebodohan mereka. Nyatanya, buat apa mereka datang kalau tidak untuk menyalami para warga yang sedang berduka di sini. Apa? Semua itu cuma lelucon yang akan mereka tertawakan setelah mereka berada di kantor.” Ia meracau lagi.
Selalu begitu.
Setiap sore. Setiap sore yang akan berakhir dan ia tak menemukan apapun kecuali langit yang mulai gelap. Sawitri adalah sebagian kecil dari langit yang gelapnya serupa kiamat. Setidaknya bagi orang lain. Apalagi jika ia sudah hilang kendali, maka pasirpun akan kehilangan bentuknya jika kakinya berpijak. Semua menjadi bentuk yang asing. Tidak ada karangan bunga. Tidak ada ucapan belasungkawa. Karena ia telah menenggelamkannya.
***
Hari itu yang datang adalah kepala reserse. Ia dan dua anak buahnya tidak langsung menemui kepala desa. Mereka bahkan tak memalingkan wajahnya pada warga. Yang mereka lakukan adalah jongkok di tepi pantai. Meraba garis-garis pasir. Lalu kembali lagi ke mobil dan pergi. Tak ada siapapun yang tahu kegiatan itu.
Dan malamnya, setelah shalat Isya, shalat gaib itu masih dilaksanakan. Kebanyakan dari mereka adalah wanita. Dan yang menjadi imamnya selalu, Pak Khidir. Kepala desa dari negeri seberang yang tak pernah dikenal wujudnya. Sebuah negeri seribu lautan yang merasa terancam oleh ulah para nelayan.
Sementara di tepi pantai–tidak seperti biasanya–Sawitri berjalan penuh ketenangan sambil menikmati suara takbir Pak Khidir dari kejauhan. Mushala yang terletak di atas tebing yang tak terlalu tinggi jadi mudah terlihat oleh siapapun. Dari situ siapapun orangnya akan bisa mengetahui bahwa bangunan itu adalah pura yang dijadikan mushola oleh warga Kampung Nelayan. Karena persis di depannya ada gapura Hindu dan ada semacam dupa yang sekarang sudah hancur.
Pemakaman yang ada hanyalah sebidang tanah yang tak terlalu luas. Indah. Dan sangat berair jika tanahnya digali. Sangat sulit menguburkan jenazah di sana karena dekat dengan deburan ombak. Maka, kebanyakan dari warga akan pergi sejauh lima kilometer dari kampungnya untuk menguburkan jenazah keluarganya.
Sejauh ini, sudah ada sekitar dua puluh wanita yang memesan kapling entah buat siapa. Kapling yang selalu siap jika sesuatu tersiar ke kuping mereka. Sawitri kelak menjadi wanita satu-satunya yang tak pernah memesan kapling pemakaman. Ia bahkan tak pernah memikirkannya. Pikirannya adalah debur ombak sepanjang garis pantai. Sepanjang kepalanya masih berada di tempatnya dan sepanjang ia masih bisa berbicara. Maka ia tak pernah mendengarkan kata-kata dari orang lain.
Bahkan sebenarnya Sawitri tak pernah tahu siapa yang ditunggunya. Karena ia bukan seorang isteri. Juga tak dimiliki oleh lelaki manapun. Tapi ia sadar ketika sesorang kembali, maka dia akan mengabarkan padanya bahwa ada lelaki yang ingin melamarnya. Selebihnya tak ada selain kebodohan yang berasalan dari dirinya sendiri. Sebab angin hanya berputar di sekitar kepalanya. Membuat bisikan-bisikan dari tengah laut yang tak kan pernah terdengar olehnya. Seperti bisikan-bisikan omong kosong.
Gelombang rendah yang menyapu kakinya seolah terpancar dari sebuah mulut gua terdalam. Entah dari mana. Ombak kecil yang saling menyambut melintas di benaknya. Lalu dari kejauhan, Sawitri melihat siluet kapal nelayan. Berikut suara gemuruhnya yang mengejutkan. Orang-orang secara tiba-tiba berlari dari belakangnya. Entah sejak kapan mereka berada di situ.
Sawitri begitu terkejut melihat orang-orang–terutama wanita–telah mengerumuni kapal nelayan itu. Beberapa pria menggotong peti-peti ikan yang kelihatannya sangat berat. Terlalu lama Sawitri tak menyadari bahwa mereka sedang menyambut hadiah besar dari laut. Laut yang menyediakan sejuta mimpi hingga para isteri bisa bermesraan dengan suaminya setelah membeli ranjang baru.
Riuh orang-orang bahkan tak sempat membuatnya sadar, sebenarnya masih ada gelombang kedua yang datang. Lalu gelombang kedua itu seperti sebuah layar yang cukup terang dilihat Sawitri.
Dengan gambar yang menunjukkan bahwa saat itu shubuh. Saat tepat ketika para pria harus melaut mencari ikan. Sekitar empat wanita mendatangi beberapa pria kurus yang sedang mempersiapkan peti-peti dan jala-jala. Sebelum kapal itu didorong ke laut, maka, wanita-wanita tadi mencium pipi dan kening para pria. Lalu mereka pergi dan hanya tinggal siluetnya yang kemudian hilang secara perlahan.
Sawitri berlari. Karena ketika ia sadar, ia melihat seorang pria yang dikenalnya secara mengejutkan melihat ke arahnya. Dia bahkan tak sempat berpikir bahwa ketika itu gelombang ketiga mulai menghantamnya hingga kembali ke tepi pantai. Kali ini geombang yang cukup besar dan ia tak mampu menghadangnya. Bahkan memburamkan layar raksasa yang rapuh tadi. Dan filmpun berganti.
Maka, ketika gelombang kedua memperlihatkan pada Sawitri bahwa para pria pergi secepat sebagaimana biasanya, gelombang ketiga memperlihatkan alur yang kacau dan terlampau cepat. Sawitri hanya dapat mendengar suara angin yang cukup mengganggu. Sementara gambar mengenai wajah-wajah para nelayan itu tak juga kelihatan. Bayangkan, sebuah ombak, memperlihatkan ombak yang lain pada permukaannya. Seperti bioskop raksasa.
Dengan gerakan hati-hati, Sawitri mencoba menghamburkan bayangannya mengenai gelombang. Dan iapun terseret pada gelombang keempat yang lebih tinggi. Yang pada akhirnya membawa Sawitri pada dunia yang tak dikenalnya. Penuh air. Penuh ikan. Penuh kegelapan dan suara laut yang menyeramkan. Ia melihat dua pusaran air yang mengikuti bangkai-bangkai kapal yang melayang-layang.
Sementara ia tak pernah melihat para nelayan sejak itu. Sejak pertama kalinya ia melihat bahwa laut ternyata memiliki kehidupan lebih kritis ketimbang manusia. Melihat kenyataan bahwa laut adalah gua penuh khayalan dan sampah-sampah yang dibuang begitu saja. Karena melihat kenyataan yang menyeramkan itulah, ia kembali ke tepi pantai dan tak melihat apapun kecuali gelombang yang tenang.
Sebuah gelombang yang secara perlahan berbisik padanya, “mereka sudah pergi. Mereka tidak kembali. Mereka sudah pergi. Mereka tidak kembali.”
Sawitri menggelengkan kepalanya beberapa kali hingga angin menampar kepalanya beberapa kali juga. Dan sekali lagi, gelombang-gelombang yang tenang itu kembali memperingatkannya akan satu hal yang tak pernah ia ketahui, “mereka telah pergi. Tak akan kembali. Mereka telah pergi. Tak akan kembali.”
Di akhir episode, Sawitri menebas kenyataan menjadi sebuah jalan yang panjang. Ketika malam kembali berlanjut dan sore tak pernah ia tunggu lagi. Malam yang sunyi ketika ia telah menyiapkan mukenanya. Menyiapkan sarungnya. Dan ia tergesa-gesa menuju mushola yang terletak di tebing. Seperti sebuah pura ketika malam.
Di jalan, ia mungkin sadar bahwa tak seorangpun yang terlihat pada malam itu.
“Aku terlambat”
Ia menaikkan sarungnya di atas mata kaki. dan ia terlihat seperti orang yang berlari. Ia terlihat seperti ingin menghindar dari terjangan ombak yang mengerikan. Dan ketika ia mencoba untuk masuk ke dalam mushola, ia bahkan tak melihat sesuatu sedang shalat di sana. Ia tak melihat siapapun. Bahkan Pak Khidir yang biasa menjadi imam. Ia tak melihat warga sedang melakukan shalat gaib itu lagi.
Malam itu sunyi. Tak ada suara hiruk pikuk. Dari tebing yang hitam, Sawitri ternyata melihat orang-orang sedang bergerak menuju laut. Termasuk Pak Khidir. Dan dari kejauhan, meski hanya berupa siluet, ia melihat kapal nelayan menuju ke tepi pantai. Kapal nelayan yang sangat besar hingga mengangkut semua orang saat itu. Lalu, saat gelombang yang cukup besar berlabuh ke tepi, Sawitri sudah tak melihat apapun kecuali gelombang yang kembali tenang. Kecuali bayangan tentang orang-orang itu yang tak akan pernah kembali ke Kampung Nelayan. Karena itulah, pada akhirnya Kampung Nelayan hanya sebuah mitos mengenai kehilangan. Orang-orang telah pergi meninggalkannya. Termasuk Sawitri.
Seminggu ini warga Kampung Nelayan sibuk menggali pemakaman untuk menguburkan jasad suami-suami mereka. Alhasil, hampir tiap malam, ba’da Isya, warga akan segera memenuhi mushola di ujung tebing untuk melakukan shalat gaib. Sesungguhnya mereka hanya akan berdoa buat siapapun yang tak pernah mereka temukan lagi.
Di Kampung Nelayan yang gerbangnya diciptakan oleh angin dan aspalnya tak lebih dari sekadar pasir putih yang mudah lapuk; hanya tersedia beberapa bangunan yang masih utuh. Sisanya cuma puing-puing gubuk dan bekas-bekas tenda pengungsian yang sudah berubah fungsi menjadi alas tidur dan pakaian. Keriuhan yang kadang terjadi akibat orang-orang yang saling melelang ikan tak terlihat lagi. Lantas, kampung ini tak pernah disinggahi orang kecuali anggota reserse atau tim SAR.
Sementara, di ujung batas langit, tak ada lagi sisa-sisa siluet yang terhubung antara Kampung Nelayan dengan mata pencaharian yang sebentar lagi juga bakal remuk redam. Tak ada yang diharapkan kecuali mimpi. Meski mimpi itu berulang kali melarikan diri dari kenyataan. Kenyataan pahit Sawitri yang ironisnya tak pernah mau ikut dalam shalat gaib.
“Melakukan itu sama artinya mendoakan suami-suami kita meninggal!” katanya pada orang-orang di pasar.
Lantas ia pergi tanpa membawa apapun kecuali kemarahan yang tiap kali mencengkeram kepalanya. Dadanya sekarang sesak oleh nikotin yang ia tabung setiap sore. Sore, di tepi pantai yang surut. Di antara kehidupan yang lari, dan kehidupan yang tak pernah ia jalani sebagaimana seorang isteri.
Karena bulan lalu, ia barusan menikah. Dan sekarang, pernikahan itu harus diakhiri–diawali, mungkin–dengan penantian yang berat. Dan terkadang sangat menyakitkan.
Persoalan mengenai kepercayaan mungkin menjadi persoalan yang berat. Tapi ia adalah wanita perkasa yang bahkan mampu memikul gunung sekalipun. Sore yang ia rasakan mungkin lebih berat ketimbang gunung. Tapi nyatanya, ia memang selalu memberikan kesempatan bagi sore yang tiap hari datang. Sebuah warna sunyi di balik burung-burung camar yang menghilang di tengah kosmos yang tengah terancam.
Baginya, tak peduli apakah yang datang itu anggota reserse, tim SAR, pejabat, atau Presiden. Ia hanya memperdulikan satu hal dalam hidupnya. Ia yang diharapkan kembali nyatanya tak pernah kembali. Juga bersama puluhan isteri yang tertinggal begitu saja tanpa surat ataupun ciuman di pipi.
“Ah, mereka sama sekali tak memberikan kenyataan. Yang aku tahu, mereka hanya menyodorkan kata-kata untuk membela kebodohan mereka. Nyatanya, buat apa mereka datang kalau tidak untuk menyalami para warga yang sedang berduka di sini. Apa? Semua itu cuma lelucon yang akan mereka tertawakan setelah mereka berada di kantor.” Ia meracau lagi.
Selalu begitu.
Setiap sore. Setiap sore yang akan berakhir dan ia tak menemukan apapun kecuali langit yang mulai gelap. Sawitri adalah sebagian kecil dari langit yang gelapnya serupa kiamat. Setidaknya bagi orang lain. Apalagi jika ia sudah hilang kendali, maka pasirpun akan kehilangan bentuknya jika kakinya berpijak. Semua menjadi bentuk yang asing. Tidak ada karangan bunga. Tidak ada ucapan belasungkawa. Karena ia telah menenggelamkannya.
***
Hari itu yang datang adalah kepala reserse. Ia dan dua anak buahnya tidak langsung menemui kepala desa. Mereka bahkan tak memalingkan wajahnya pada warga. Yang mereka lakukan adalah jongkok di tepi pantai. Meraba garis-garis pasir. Lalu kembali lagi ke mobil dan pergi. Tak ada siapapun yang tahu kegiatan itu.
Dan malamnya, setelah shalat Isya, shalat gaib itu masih dilaksanakan. Kebanyakan dari mereka adalah wanita. Dan yang menjadi imamnya selalu, Pak Khidir. Kepala desa dari negeri seberang yang tak pernah dikenal wujudnya. Sebuah negeri seribu lautan yang merasa terancam oleh ulah para nelayan.
Sementara di tepi pantai–tidak seperti biasanya–Sawitri berjalan penuh ketenangan sambil menikmati suara takbir Pak Khidir dari kejauhan. Mushala yang terletak di atas tebing yang tak terlalu tinggi jadi mudah terlihat oleh siapapun. Dari situ siapapun orangnya akan bisa mengetahui bahwa bangunan itu adalah pura yang dijadikan mushola oleh warga Kampung Nelayan. Karena persis di depannya ada gapura Hindu dan ada semacam dupa yang sekarang sudah hancur.
Pemakaman yang ada hanyalah sebidang tanah yang tak terlalu luas. Indah. Dan sangat berair jika tanahnya digali. Sangat sulit menguburkan jenazah di sana karena dekat dengan deburan ombak. Maka, kebanyakan dari warga akan pergi sejauh lima kilometer dari kampungnya untuk menguburkan jenazah keluarganya.
Sejauh ini, sudah ada sekitar dua puluh wanita yang memesan kapling entah buat siapa. Kapling yang selalu siap jika sesuatu tersiar ke kuping mereka. Sawitri kelak menjadi wanita satu-satunya yang tak pernah memesan kapling pemakaman. Ia bahkan tak pernah memikirkannya. Pikirannya adalah debur ombak sepanjang garis pantai. Sepanjang kepalanya masih berada di tempatnya dan sepanjang ia masih bisa berbicara. Maka ia tak pernah mendengarkan kata-kata dari orang lain.
Bahkan sebenarnya Sawitri tak pernah tahu siapa yang ditunggunya. Karena ia bukan seorang isteri. Juga tak dimiliki oleh lelaki manapun. Tapi ia sadar ketika sesorang kembali, maka dia akan mengabarkan padanya bahwa ada lelaki yang ingin melamarnya. Selebihnya tak ada selain kebodohan yang berasalan dari dirinya sendiri. Sebab angin hanya berputar di sekitar kepalanya. Membuat bisikan-bisikan dari tengah laut yang tak kan pernah terdengar olehnya. Seperti bisikan-bisikan omong kosong.
Gelombang rendah yang menyapu kakinya seolah terpancar dari sebuah mulut gua terdalam. Entah dari mana. Ombak kecil yang saling menyambut melintas di benaknya. Lalu dari kejauhan, Sawitri melihat siluet kapal nelayan. Berikut suara gemuruhnya yang mengejutkan. Orang-orang secara tiba-tiba berlari dari belakangnya. Entah sejak kapan mereka berada di situ.
Sawitri begitu terkejut melihat orang-orang–terutama wanita–telah mengerumuni kapal nelayan itu. Beberapa pria menggotong peti-peti ikan yang kelihatannya sangat berat. Terlalu lama Sawitri tak menyadari bahwa mereka sedang menyambut hadiah besar dari laut. Laut yang menyediakan sejuta mimpi hingga para isteri bisa bermesraan dengan suaminya setelah membeli ranjang baru.
Riuh orang-orang bahkan tak sempat membuatnya sadar, sebenarnya masih ada gelombang kedua yang datang. Lalu gelombang kedua itu seperti sebuah layar yang cukup terang dilihat Sawitri.
Dengan gambar yang menunjukkan bahwa saat itu shubuh. Saat tepat ketika para pria harus melaut mencari ikan. Sekitar empat wanita mendatangi beberapa pria kurus yang sedang mempersiapkan peti-peti dan jala-jala. Sebelum kapal itu didorong ke laut, maka, wanita-wanita tadi mencium pipi dan kening para pria. Lalu mereka pergi dan hanya tinggal siluetnya yang kemudian hilang secara perlahan.
Sawitri berlari. Karena ketika ia sadar, ia melihat seorang pria yang dikenalnya secara mengejutkan melihat ke arahnya. Dia bahkan tak sempat berpikir bahwa ketika itu gelombang ketiga mulai menghantamnya hingga kembali ke tepi pantai. Kali ini geombang yang cukup besar dan ia tak mampu menghadangnya. Bahkan memburamkan layar raksasa yang rapuh tadi. Dan filmpun berganti.
Maka, ketika gelombang kedua memperlihatkan pada Sawitri bahwa para pria pergi secepat sebagaimana biasanya, gelombang ketiga memperlihatkan alur yang kacau dan terlampau cepat. Sawitri hanya dapat mendengar suara angin yang cukup mengganggu. Sementara gambar mengenai wajah-wajah para nelayan itu tak juga kelihatan. Bayangkan, sebuah ombak, memperlihatkan ombak yang lain pada permukaannya. Seperti bioskop raksasa.
Dengan gerakan hati-hati, Sawitri mencoba menghamburkan bayangannya mengenai gelombang. Dan iapun terseret pada gelombang keempat yang lebih tinggi. Yang pada akhirnya membawa Sawitri pada dunia yang tak dikenalnya. Penuh air. Penuh ikan. Penuh kegelapan dan suara laut yang menyeramkan. Ia melihat dua pusaran air yang mengikuti bangkai-bangkai kapal yang melayang-layang.
Sementara ia tak pernah melihat para nelayan sejak itu. Sejak pertama kalinya ia melihat bahwa laut ternyata memiliki kehidupan lebih kritis ketimbang manusia. Melihat kenyataan bahwa laut adalah gua penuh khayalan dan sampah-sampah yang dibuang begitu saja. Karena melihat kenyataan yang menyeramkan itulah, ia kembali ke tepi pantai dan tak melihat apapun kecuali gelombang yang tenang.
Sebuah gelombang yang secara perlahan berbisik padanya, “mereka sudah pergi. Mereka tidak kembali. Mereka sudah pergi. Mereka tidak kembali.”
Sawitri menggelengkan kepalanya beberapa kali hingga angin menampar kepalanya beberapa kali juga. Dan sekali lagi, gelombang-gelombang yang tenang itu kembali memperingatkannya akan satu hal yang tak pernah ia ketahui, “mereka telah pergi. Tak akan kembali. Mereka telah pergi. Tak akan kembali.”
Di akhir episode, Sawitri menebas kenyataan menjadi sebuah jalan yang panjang. Ketika malam kembali berlanjut dan sore tak pernah ia tunggu lagi. Malam yang sunyi ketika ia telah menyiapkan mukenanya. Menyiapkan sarungnya. Dan ia tergesa-gesa menuju mushola yang terletak di tebing. Seperti sebuah pura ketika malam.
Di jalan, ia mungkin sadar bahwa tak seorangpun yang terlihat pada malam itu.
“Aku terlambat”
Ia menaikkan sarungnya di atas mata kaki. dan ia terlihat seperti orang yang berlari. Ia terlihat seperti ingin menghindar dari terjangan ombak yang mengerikan. Dan ketika ia mencoba untuk masuk ke dalam mushola, ia bahkan tak melihat sesuatu sedang shalat di sana. Ia tak melihat siapapun. Bahkan Pak Khidir yang biasa menjadi imam. Ia tak melihat warga sedang melakukan shalat gaib itu lagi.
Malam itu sunyi. Tak ada suara hiruk pikuk. Dari tebing yang hitam, Sawitri ternyata melihat orang-orang sedang bergerak menuju laut. Termasuk Pak Khidir. Dan dari kejauhan, meski hanya berupa siluet, ia melihat kapal nelayan menuju ke tepi pantai. Kapal nelayan yang sangat besar hingga mengangkut semua orang saat itu. Lalu, saat gelombang yang cukup besar berlabuh ke tepi, Sawitri sudah tak melihat apapun kecuali gelombang yang kembali tenang. Kecuali bayangan tentang orang-orang itu yang tak akan pernah kembali ke Kampung Nelayan. Karena itulah, pada akhirnya Kampung Nelayan hanya sebuah mitos mengenai kehilangan. Orang-orang telah pergi meninggalkannya. Termasuk Sawitri.
0 komentar:
Posting Komentar