PELAN tapi pasti, Godman Ambarita akhirnya mahir memainkan gitar. Kini keinginannya meningkat dari sekadar memainkan gitar dan melantunkan lagu karya orang lain menuju keinginan mengarang lagu.
Bermula tahun 1963. Saat itu, seakan ada gejolak yang menggemuruh di hatinya untuk mencipta sebuah lagu. "Saya berpikir harus tampil beda dengan warna musik Batak. Lalu saya mencoba mengadopsi musik Rock and Roll yang sedang trendi saat itu. Tema lagunya saya sesuaikan pula dengan kondisi remaja, yakni dengan adanya kecenderungan sok jadi preman dengan pola konsumerisme gonta-ganti pakaian, walaupun pinjam-meminjam," kenang Godman.
Itulah inspirasi mengangkat tingkah polah kaum remaja anak-anak orang berada yang asyik hilir-mudik mengendarai sepeda motor Honda atau Vespa yang merupakan barang mewah. Lalu memakai pakaian jenis trelinin, teteron berbahan dari polyester yang tidak perlu disetrika dan mengenakan celana wol yang hanya dimiliki oleh anak-anak orang kaya. Perilaku remaja tersebut dirangkum dan tuangkan dalam lagu "Anggar Pareman" (Sok Jadi Preman), lagu jenaka dan merupakan ciptaan pertamanya.
"Dalam mencipta lagu, saya berusaha menggali dari kehidupan nyata, tapi dengan nuansa baru dan tempo musik yang khas. Contohnya, kisah Ibu tiri yang kejam dengan judul "Uju Mangolu" (Ketika masih Hidup) . Lagu ini diangkat dari kisah sedih seorang anak yang selalu menangis tiap malam bersenandung karena kerinduan pada ibunda tercinta yang sudah meninggal. Sedangkan sang ayah menikah lagi sehingga anak-anaknya tercerai-berai, homebroken.
Kisah nyata dari seorang sahabat, Tahir Manik, yang tinggal bersama Godman waktu sekolah di Pematang Siantar. "Selama berbulan-bulan Tahir selalu menangis tersedu-sedu terutama malam hari membuat hati saya serasa disayat-sayat. Pelan-pelan saya petik gitar mengikuti lengkingan kepiluan yang menimpa dirinya. Walau sedih, tidak dalam bentuk "andung" (rintihan). Pada waktu saya menyanyikan Uju Mangolu, Tahir menangis tersedu-sedu."
Kisah nyata masih mengilhami karya selanjutnya. Medio tahun 1964, ia diajak teman satu sekolah, Balson Sinaga ke kampungnya di Saribu Jawa, Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Sumut. Letaknya di pedalaman dan harus jalan kaki sejauh kurang lebih 10 km. Belum ada kendaraan bermotor ke daerah pertanian yang sangat subur itu.
Pada malam hari Godman diajak martandang (apel perempaun) tentu saja dengan petikan gitar sembari bernyanyi menyusuri tegalan sawah di tengah kegelapan. Tiba di sebuah rumah tempat martandang, Ia berkenalan dengan seorang pemuda desa.
Mereka cepat akrab oleh kesamaan hobi, bernyanyi. Mereka menggoda bunga desa dengan unjuk kebolehan melantunkan beberapa lagu diiringi jemari yang menari liar memetik senar gitar. Bernyanyi sembari melirik gadis-gadis desa. Usai bernyanyi bersama, sang pemuda desaitu bercerita tentang kisah asmara yang kandast karena pacarnya pergi menikah dengan pemuda lain.
"Ceritanya sederhana tapi raut wajahnya sangat sedih. Hati saya terharu mendengar ceritanya dan terlintas di benak saya atas senandung kesedihan yang menimpanya. Saya berjanji dalam hati akan menuangkan dalam sebuah lagu sebagai kenangan untuknya. Dalam tempo satu minggu saya menciptakan lagu Bunga Na Bontar (Bunga Warna Putih)," tutur Godman.
Ia mengaku sengaja memperkenalkan kembang berwarna putih tanda ikhlas melepas sang kekasih dan sikap si pemuda yang tidak mau datang ke pesta pacarnya, menjadi salah satu bait pemanis lagu itu.
"Sangat saya sadari bahwa masa itu perkawinan Batak belum mengenal pemberian kembang kepada pengantin, apalagi di pedesaan. Tapi agar menarik perhatian pendengar, saya coba merekayasa dalam untaian kata-kata, seperti yang tertuang dalam lagu Bunga Na Bontar".
Bunga Na Bontar, sering dinyanyikan berduet dengan John Liat Samosir (JLS) saat martandang atau di lapo tuak di luar group Rospita Berteman. Kemudian bersama John Liat Samosir dan Jules Ambarita (saudara kandungnya), mereka pertama sekali tampil bernyanyi di RRI Sibolga (live) tahun 1965. Mereka bertiga menyanyikan beberapa lagu antara lain Uju Mangolu, Bunga na Bontar, O Ale Rospita.
Dan selama berada di kota Sibolga, mereka sempat berkeliling dari mulai Sibolga Julu, Simare-mare, bernyanyi di gereja Sambas dan melancong ke Sarudik yang terkenal dengan tempat rekreasi. Sewaktu berada di kota Sibolga, keindahan teluk Sibolga dan keramahan penduduknya mendorong Godman menciptakan lagu Tapian Nauli.
Sepulangnya dari Sibolga, Godman dan dua temannya menumpang sebuah truk pengangkat batu untuk menghemat ongkos. Kemudian truk yang ditumpangi berhenti di rumah makan di Adian Hoting, lokasi persinggahan yang terkenal dengan sajian rumah makan yang enak masakannya. Usai melahap makan, sebagaimana biasa kami melantunkan sebuah lagu. Lalu pemilik rumah makan bertanya, "Apakah kalian yang bernyanyi di RRI Sibolga beberapa hari yang lalu?"
"Serentak kami menjawab "Ya". Serta-merta beliau meminta lagu "Ina Panoroni" atau "Uju Mangolu", yang kami nyanyikan di RRI Sibolga. Menurut pengakuannya nasibnya persis sama seperti lagu itu. Saat kami bernyanyi matanya berkaca-kaca. Tatkala mau membayar makanan, beliau mengatakan, "Tidak perlu bayar, hati saya sangat puas mendengar lagu itu. Saya teringat kejamnya ibu tiri", katanya sambil mengusap air mata yang meleleh di pipinya. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)
Bermula tahun 1963. Saat itu, seakan ada gejolak yang menggemuruh di hatinya untuk mencipta sebuah lagu. "Saya berpikir harus tampil beda dengan warna musik Batak. Lalu saya mencoba mengadopsi musik Rock and Roll yang sedang trendi saat itu. Tema lagunya saya sesuaikan pula dengan kondisi remaja, yakni dengan adanya kecenderungan sok jadi preman dengan pola konsumerisme gonta-ganti pakaian, walaupun pinjam-meminjam," kenang Godman.
Itulah inspirasi mengangkat tingkah polah kaum remaja anak-anak orang berada yang asyik hilir-mudik mengendarai sepeda motor Honda atau Vespa yang merupakan barang mewah. Lalu memakai pakaian jenis trelinin, teteron berbahan dari polyester yang tidak perlu disetrika dan mengenakan celana wol yang hanya dimiliki oleh anak-anak orang kaya. Perilaku remaja tersebut dirangkum dan tuangkan dalam lagu "Anggar Pareman" (Sok Jadi Preman), lagu jenaka dan merupakan ciptaan pertamanya.
"Dalam mencipta lagu, saya berusaha menggali dari kehidupan nyata, tapi dengan nuansa baru dan tempo musik yang khas. Contohnya, kisah Ibu tiri yang kejam dengan judul "Uju Mangolu" (Ketika masih Hidup) . Lagu ini diangkat dari kisah sedih seorang anak yang selalu menangis tiap malam bersenandung karena kerinduan pada ibunda tercinta yang sudah meninggal. Sedangkan sang ayah menikah lagi sehingga anak-anaknya tercerai-berai, homebroken.
Kisah nyata dari seorang sahabat, Tahir Manik, yang tinggal bersama Godman waktu sekolah di Pematang Siantar. "Selama berbulan-bulan Tahir selalu menangis tersedu-sedu terutama malam hari membuat hati saya serasa disayat-sayat. Pelan-pelan saya petik gitar mengikuti lengkingan kepiluan yang menimpa dirinya. Walau sedih, tidak dalam bentuk "andung" (rintihan). Pada waktu saya menyanyikan Uju Mangolu, Tahir menangis tersedu-sedu."
Kisah nyata masih mengilhami karya selanjutnya. Medio tahun 1964, ia diajak teman satu sekolah, Balson Sinaga ke kampungnya di Saribu Jawa, Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Sumut. Letaknya di pedalaman dan harus jalan kaki sejauh kurang lebih 10 km. Belum ada kendaraan bermotor ke daerah pertanian yang sangat subur itu.
Pada malam hari Godman diajak martandang (apel perempaun) tentu saja dengan petikan gitar sembari bernyanyi menyusuri tegalan sawah di tengah kegelapan. Tiba di sebuah rumah tempat martandang, Ia berkenalan dengan seorang pemuda desa.
Mereka cepat akrab oleh kesamaan hobi, bernyanyi. Mereka menggoda bunga desa dengan unjuk kebolehan melantunkan beberapa lagu diiringi jemari yang menari liar memetik senar gitar. Bernyanyi sembari melirik gadis-gadis desa. Usai bernyanyi bersama, sang pemuda desaitu bercerita tentang kisah asmara yang kandast karena pacarnya pergi menikah dengan pemuda lain.
"Ceritanya sederhana tapi raut wajahnya sangat sedih. Hati saya terharu mendengar ceritanya dan terlintas di benak saya atas senandung kesedihan yang menimpanya. Saya berjanji dalam hati akan menuangkan dalam sebuah lagu sebagai kenangan untuknya. Dalam tempo satu minggu saya menciptakan lagu Bunga Na Bontar (Bunga Warna Putih)," tutur Godman.
Ia mengaku sengaja memperkenalkan kembang berwarna putih tanda ikhlas melepas sang kekasih dan sikap si pemuda yang tidak mau datang ke pesta pacarnya, menjadi salah satu bait pemanis lagu itu.
"Sangat saya sadari bahwa masa itu perkawinan Batak belum mengenal pemberian kembang kepada pengantin, apalagi di pedesaan. Tapi agar menarik perhatian pendengar, saya coba merekayasa dalam untaian kata-kata, seperti yang tertuang dalam lagu Bunga Na Bontar".
Bunga Na Bontar, sering dinyanyikan berduet dengan John Liat Samosir (JLS) saat martandang atau di lapo tuak di luar group Rospita Berteman. Kemudian bersama John Liat Samosir dan Jules Ambarita (saudara kandungnya), mereka pertama sekali tampil bernyanyi di RRI Sibolga (live) tahun 1965. Mereka bertiga menyanyikan beberapa lagu antara lain Uju Mangolu, Bunga na Bontar, O Ale Rospita.
Dan selama berada di kota Sibolga, mereka sempat berkeliling dari mulai Sibolga Julu, Simare-mare, bernyanyi di gereja Sambas dan melancong ke Sarudik yang terkenal dengan tempat rekreasi. Sewaktu berada di kota Sibolga, keindahan teluk Sibolga dan keramahan penduduknya mendorong Godman menciptakan lagu Tapian Nauli.
Sepulangnya dari Sibolga, Godman dan dua temannya menumpang sebuah truk pengangkat batu untuk menghemat ongkos. Kemudian truk yang ditumpangi berhenti di rumah makan di Adian Hoting, lokasi persinggahan yang terkenal dengan sajian rumah makan yang enak masakannya. Usai melahap makan, sebagaimana biasa kami melantunkan sebuah lagu. Lalu pemilik rumah makan bertanya, "Apakah kalian yang bernyanyi di RRI Sibolga beberapa hari yang lalu?"
"Serentak kami menjawab "Ya". Serta-merta beliau meminta lagu "Ina Panoroni" atau "Uju Mangolu", yang kami nyanyikan di RRI Sibolga. Menurut pengakuannya nasibnya persis sama seperti lagu itu. Saat kami bernyanyi matanya berkaca-kaca. Tatkala mau membayar makanan, beliau mengatakan, "Tidak perlu bayar, hati saya sangat puas mendengar lagu itu. Saya teringat kejamnya ibu tiri", katanya sambil mengusap air mata yang meleleh di pipinya. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)
0 komentar:
Posting Komentar