Aparat Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Negara Republik Indonesia menangkap IF terkait kasus terorisme, khususnya temuan rangkaian bom di dekat Gereja Christ Cathedral, Serpong, Tangerang. IF dikenal sebagai kameramen Global TV yang terikat dengan etika jurnalistik.
IF diduga diajak untuk merekam peristiwa ledakan jika bom yang dipasang itu meledak. Bom di dekat Gereja Christ Cathedral, termasuk bom buku, selama ini diduga dirancang P. Ia juga diduga menjadi otak jaringan pelaku bom buku.
Terlepas dari penangkapan dan proses hukum terhadap IF, seorang wartawan, sesuai prinsip profesinya, sebenarnya dapat berhubungan dengan berbagai kalangan narasumber, termasuk teroris atau kelompok separatis. Misalnya, ada wartawan yang mewawancarai petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang pada masa lalu dianggap kelompok separatis dan musuh negara.
Akan tetapi, dalam berhubungan dengan berbagai narasumber, termasuk separatis atau teroris, wartawan tetap perlu menjaga jarak, berpegang pada etika jurnalistik, dan mengedepankan jurnalisme damai. Jurnalisme damai mengedepankan prinsip menghindari kekerasan, konflik, dan memegang prinsip nilai kemanusiaan.
Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Hubungan Luar Negeri Dewan Pers Bekti Nugroho, Senin (25/4) di Jakarta, mengatakan, wartawan dapat berhubungan dengan semua kalangan. Namun, ketika ada persoalan etika, seorang jurnalis harus mengambil sikap.
Sebagai contoh, jika ada orang yang menjadi korban tindak pidana, secara etis, wartawan perlu menolong korban, bukan hanya mengambil gambar atau meliput. ”Itu prinsip universal. Orang yang bukan wartawan pun harusnya membantu korban jikalau ada yang menjadi korban tindak pidana atau kekerasan,” tuturnya.
Prinsip etis wartawan diatur dalam Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers. Dalam kode etik itu antara lain diatur wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk.
Selain itu, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Kode etik jurnalistik juga mengatur wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Keberpihakan wartawan pada kode etik dan jurnalisme damai penting agar wartawan atau kalangan pers dapat memberikan kontribusi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Tanpa mengedepankan prinsip dasar itu, termasuk nilai kemanusiaan, pers pun berpotensi menjadi alat berbagai kepentingan yang ada, termasuk kepentingan teroris.
Dalam diskusi dan peluncuran buku berjudul Panduan Jurnalis Meliput Terorisme, pekan lalu, Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli mengatakan, peran pers sangat penting untuk ikut melakukan upaya deradikalisasi dan mengurangi perkembangan ideologi terorisme. Pers diharapkan dapat membangun kesadaran dan kemampuan masyarakat di segala lapisan untuk menyadari bahaya terorisme sehingga terorisme tidak berkembang. Apalagi, kelompok radikal atau teroris juga dapat memanfaatkan media untuk melakukan propaganda.
Oleh karena itu, pekerja media atau pers pun harus lebih berhati-hati dalam memberitakan terorisme
IF diduga diajak untuk merekam peristiwa ledakan jika bom yang dipasang itu meledak. Bom di dekat Gereja Christ Cathedral, termasuk bom buku, selama ini diduga dirancang P. Ia juga diduga menjadi otak jaringan pelaku bom buku.
Terlepas dari penangkapan dan proses hukum terhadap IF, seorang wartawan, sesuai prinsip profesinya, sebenarnya dapat berhubungan dengan berbagai kalangan narasumber, termasuk teroris atau kelompok separatis. Misalnya, ada wartawan yang mewawancarai petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang pada masa lalu dianggap kelompok separatis dan musuh negara.
Akan tetapi, dalam berhubungan dengan berbagai narasumber, termasuk separatis atau teroris, wartawan tetap perlu menjaga jarak, berpegang pada etika jurnalistik, dan mengedepankan jurnalisme damai. Jurnalisme damai mengedepankan prinsip menghindari kekerasan, konflik, dan memegang prinsip nilai kemanusiaan.
Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Hubungan Luar Negeri Dewan Pers Bekti Nugroho, Senin (25/4) di Jakarta, mengatakan, wartawan dapat berhubungan dengan semua kalangan. Namun, ketika ada persoalan etika, seorang jurnalis harus mengambil sikap.
Sebagai contoh, jika ada orang yang menjadi korban tindak pidana, secara etis, wartawan perlu menolong korban, bukan hanya mengambil gambar atau meliput. ”Itu prinsip universal. Orang yang bukan wartawan pun harusnya membantu korban jikalau ada yang menjadi korban tindak pidana atau kekerasan,” tuturnya.
Prinsip etis wartawan diatur dalam Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers. Dalam kode etik itu antara lain diatur wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk.
Selain itu, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Kode etik jurnalistik juga mengatur wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Keberpihakan wartawan pada kode etik dan jurnalisme damai penting agar wartawan atau kalangan pers dapat memberikan kontribusi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Tanpa mengedepankan prinsip dasar itu, termasuk nilai kemanusiaan, pers pun berpotensi menjadi alat berbagai kepentingan yang ada, termasuk kepentingan teroris.
Dalam diskusi dan peluncuran buku berjudul Panduan Jurnalis Meliput Terorisme, pekan lalu, Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli mengatakan, peran pers sangat penting untuk ikut melakukan upaya deradikalisasi dan mengurangi perkembangan ideologi terorisme. Pers diharapkan dapat membangun kesadaran dan kemampuan masyarakat di segala lapisan untuk menyadari bahaya terorisme sehingga terorisme tidak berkembang. Apalagi, kelompok radikal atau teroris juga dapat memanfaatkan media untuk melakukan propaganda.
Oleh karena itu, pekerja media atau pers pun harus lebih berhati-hati dalam memberitakan terorisme
0 komentar:
Posting Komentar