Seorang rekan jurnalis foto menelepon, ”Sekarang aku tinggal di Bali. Aku terima kerja juga sebagai paparazzi. Kalau ada job, kabari ya….” Lebih jauh, rekan tadi bercerita bahwa dia menerima pesanan untuk memotret pesohor-pesohor yang diam-diam berlibur di Bali, bisa pesohor lokal, bisa juga pesohor internasional.
Rekan tadi juga bercerita bahwa saat Julia Roberts shooting di Bali akhir tahun 2009, dia berhasil mendapatkan sebuah foto Roberts yang lalu terjual dengan harga cukup tinggi.
Pada awal tahun 1990-an saya pernah mendapat uang dalam jumlah banyak hanya untuk memotret seorang pria yang makan siang di sebuah restoran hotel berbintang di Jakarta. Yang memberi kerja adalah istri pria itu, yang curiga bahwa suaminya selingkuh. Tugas saya hanyalah memotret wanita mana saja yang tampak bersama pria itu.
Tak lazim
Pekerjaan yang saya lakukan ataupun yang dilakukan rekan di Bali tadi biasa disebut sebagai pekerjaan paparazzi. Sebuah pekerjaan yang tidak lazim sebab memotret dengan keadaan ”memaksa”. Orang yang dipotret sesungguhnya tidak tahu kalau dipotret, dan mungkin sama sekali tidak mau.
Anda mungkin ingat kejadian pada tahun 1997 ketika Putri Diana meninggal dunia karena dikejar-kejar paparazzi. Putri Diana menolak dipotret sehingga sopirnya memacu mobilnya untuk menghindari para paparazzi tersebut, dan terjadilah sebuah kecelakaan.
Kata paparazzi, atau paparazzo dalam bentuk kata tunggalnya, dalam bahasa Italia arti harfiahnya kira-kira ”sinting”. Kata itu pertama kali muncul di Italia pada tahun 1960-an dari film berjudul La Dolce Vita yang menggambarkan kehidupan para bintang yang serba wah. Oleh sutradara film ini, yaitu Fellini, orang-orang yang suka mengintip kelakuan para bintang itu disebutnya paparazzo. Julukan ”sinting” ini masuk akal sebab mereka biasa membuntuti orang-orang penting untuk mendapatkan foto se-eksklusif mungkin tanpa peduli perasaan orang yang difoto itu.
Jangan tanya apakah profesi paparazzi itu halal atau tidak. Kenyataaannya, profesi tersebut ada karena banyak orang membutuhkan hasil kerja para paparazzi.
Waktu Michael Jackson meninggal, misalnya, sangat sedikit info yang ada tentang anak-anak bintang pop itu. Jadilah para paparazzi mengejar foto-foto anak Jacko. Sebuah foto anak Jacko konon berharga ribuan dollar AS, dan pembeli foto-foto itu adalah aneka majalah gosip yang mungkin juga sampai ke tangan Anda.
Profesi paparazzi sempat mencuat saat Richard Young dengan kejeliannya berhasil mendapatkan fakta kehidupan sehari-hari Soraya Khashoggi, janda cerai Adnan Khashoggi, salah satu orang terkaya di dunia pada tahun 1988. Foto karya Young itu kemudian melahirkan tulisan features tentang Soraya di berbagai majalah di Eropa dan Amerika pada tahun itu.
Profesi paparazzi tidak akan pernah surut sebab kebutuhan foto-foto eksklusif untuk itu selalu ada. Beberapa paparazzi papan atas punya dana sampai ribuan dollar AS untuk mendapatkan sebuah foto. Waktu Sean Penn menikah dengan Madonna pada 1985 beberapa paparazzi sampai menyewa helikopter (yang menaikkan tarif sewa dengan gila-gilaan) untuk bisa memotret pesta perkawinan Sean Penn-Madonna itu.
Apakah paparazzi itu wartawan? Bukan. Mereka semata pedagang foto eksklusif. Bagaimana menghadapi paparazzi? Santai saja karena mereka sebenarnya cuma ingin memotret. Apakah kerja mereka dapat dibenarkan? Tergantung dari mana Anda memandang. Kalau Anda dikejar paparazzi, itu artinya Anda terkenal. Dan risiko terkenal adalah: Anda kehilangan privasi.
Tinggalkan sebuah Komentar
Bijak Menghadapi Kritik Media
Januari 2, 2011 pada 4:18 am (Jurnalistik Indonesia)
Tags: Jurnalistik Indonesia
Oleh Agus Sudibyo
Ali Sadikin adalah gejala tersendiri dalam konteks relasi antara pejabat publik dengan unsur masyarakat dan pers. Meski bukan figur yang tergolong ramah terhadap LSM dan media, Bang Ali selalu berusaha terbuka dan berpikiran positif terhadap kritik.
Sebagai gubernur DKI, Bang Ali bahkan merasa terbantu oleh kritik LSM dan media. Kritik membantunya mendapat gambaran sesungguhnya tentang kualitas pemerintahannya: pelayanan publik serta kelemahan dan penyelewengan di lapangan.
Dari anak-buahnya, para birokrat yang alergi kritik, hanya ada laporan bertipe asal bapak senang. Isinya, penyelenggaraan pemerintahan berjalan baik, normal, meski yang terjadi sebaliknya: sarat pelanggaran dan penyelewengan. Bang Ali paham laporan seperti ini hanya membuatnya keliru menganalisis keadaan dan mengambil keputusan. Ia justru mengandalkan masukan dan kritik eksternal saat mengevaluasi pemerintahannya.
Mentalitas Bang Ali sangat relevan ketika kita menghadapi respons negatif pemerintah terhadap kritik media belakangan ini. Tak diragukan lagi, peran media sungguh signifikan mengangkat kontroversi cicak versus buaya, kriminalisasi KPK, penalangan Bank Century, dan mafia peradilan. Pemberitaan media mampu meletakkan opini publik sebagai faktor determinan dalam pengambilan putusan di tingkat eksekutif ataupun legislatif.
Dihadapkan pada situasi seperti ini, yang diperagakan para pemimpin kita bukan mentalitas Bang Ali. Sebaliknya malah sikap reaktif dan tidak proporsional. Secara apriori dan tanpa rujukan yang jelas, mereka gemar melontarkan penilaian, seperti ”kebebasan pers telah kebablasan”, ”media melakukan tirani opini”, ”pers jangan menjadi provokator”, dan ”masyarakat makin kreatif memfitnah”.
Efek delegitimasi
Muncul kepanikan ketika kritik media menimbulkan efek delegitimasi signifikan terhadap unsur politik tertentu. Yang mengemuka bukan mawas diri dan kreativitas menghadapi paparan media, namun justru praduga, bahkan niat buruk. Ini terjadi ketika Wapres Boediono melontarkan gagasan sinergi TVRI, RRI dan Antara ke dalam satu institusi untuk membantu pemerintah mengimbangi kritik media massa. Tersirat keinginan menjadikan tiga lembaga itu sebagai instrumen politik pemerintah.
Gagasan ini jelas kontroversial dan kontraproduktif. Pertama, UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 menegaskan TVRI-RRI adalah lembaga penyiaran publik yang independen, netral, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Salah besar membayangkan fungsinya sebagai organ pemerintah guna mengimbangi kritik media komersial.
Fungsi penyiaran publik di mana pun menjalankan keutamaan publik: pendidikan kewargaan, ruang publik budaya, pemberdayaan sosial ekonomi. TVRI-RRI tak dapat diidentifikasi sebagai lembaga milik pemerintah sebab didanai APBN yang adalah dana publik, bukan dana pemerintah. Gagasan menjadikan TVRI-RRI instrumen politik pemerintah hanya lazim muncul dalam rezim otoriter. Gagasan ini menunjukkan ketakpahaman terhadap spirit kelembagaan penyiaran publik.
Kontrol
Kedua, dalam rezim yang demokratis, sudah pada tempatnya pers mengontrol pemerintah. Pers adalah perangkat masyarakat guna mengawasi penyelenggaraan kekuasaan dalam berbagai bentuk. Cara efektif menghadapi kritik pers bukanlah dengan menciptakan tandingannya atau mencoba membungkamnya melalui produk kebijakan. Satu-satunya cara: mereduksi tindakan, kebijakan, dan situasi yang dapat memicu kontroversi. Agar terhindar dari paparan negatif media, pemerintah jangan membuat kesalahan. Penuhi harapan publik akan pemerintahan efektif dan bersih!
Tentu ini tak berarti pemberitaan media sama sekali tak menguntungkan pemerintah. Pemberitaan media tentang fasilitas mewah narapidana berduit jelas memperkuat alasan Menhuk dan HAM menertibkan jajarannya. Kontroversi media tentang cicak versus buaya menghindarkan Presiden dari kesalahan fatal melemahkan KPK dan mengkriminalkan anggotanya.
Pemberitaan intensif tentang dana talangan Century pada sisi lain juga mengondisikan DPR benar-benar mengusut tuntas kasus ini. Persoalannya, apakah pejabat kita bermental Bang Ali. Apakah mereka mau melihat pers secara kritis, proporsional, dan konstruktif?
Dalam beberapa kasus, pers masih mengabaikan etika dan profesionalisme. Kelemahan ini cukup menuntut perbaikan kualitas pemberitaan media, tetapi jelas tak memadai mengintroduksi kebijakan yang antikebebasan pers. Keberatan pemerintah dan unsur politik terhadap pemberitaan media seharusnya didasari itikad memperbaiki kualitas ruang publik media sehingga adil terhadap semua pihak, bukan niat ”balas-dendam” atau hasrat membelenggu kebebasan media.
Agus Sudibyo Wakil Direktur Yayasan SET Jakarta
1 Komentar
Evolusi Menjadi Manusia Sarwaindra
Desember 31, 2010 pada 1:29 am (Jurnalistik Indonesia)
Tags: Jurnalistik Indonesia
Oleh: Tia Setiadi
Suatu hari pada September 1926, seorang pemuda Yahudi bernama Leopold Weiss sedang bepergian dengan kereta bawah tanah di Berlin. Dia menumpang kereta kelas satu. Sepintas lalu, Weiss memandang berkeliling pada orang-orang di sekitarnya. Tampak olehnya seorang lelaki berpakaian mentereng dengan tas tangan indah pada lututnya dan cincin berlian besar di jarinya. Weiss berpikir lelaki ini patut menjadi ukuran bagi kemakmuran yang tampak di mana-mana di Eropa tengah pada masa itu. Namun, tatkala Weiss memandang wajahnya, kelihatan lelaki itu rusuh, bukan hanya sekadar bingung, tetapi juga sangat menderita, dengan tatapan hampa ke depan.
Weiss mengalihkan pandang kepada penumpang lain, seorang wanita dengan kemewahan yang sama. Wanita ini pun menunjukkan air muka sendu, seolah sedang mengalami sesuatu yang membuatnya amat merana. Kemudian, Weiss melihat wajah-wajah lain yang berada di ruangan itu, orang-orang yang berpakaian keren dengan kelimpahan materi yang kentara. Dengan masygul, Weiss mengatakan, ”Hampir setiap orang dapat saya amati ekspresi penderitaan tersembunyi, begitu terpendam sehingga para pemilik wajah itu sendiri seolah-olah tak menyadari sama sekali.”
Ada sesuatu yang salah, demikian si pemuda Yahudi itu membatin. Barat telah mencapai prestasi-prestasi di bidang materiil, kemajuan sains, dan teknologi yang mahadahsyat, tetapi bersamaan dengan itu telah lenyap pula oasis-oasis spiritual dan tenaga kerohanian yang menyangga peradabannya. Kemajuan teknologi, di satu sisi telah meningkatkan kekuatan dan kekuasaan manusia secara luar biasa, tetapi di sisi lain ”kesenjangan moral” antara kekuatan fisik manusia untuk berbuat jahat dan kemampuan spiritualnya untuk mengendalikan kekuatan jahat itu menganga selebar rahang-rahang neraka.
Penemuan jati diri
Leopold Weiss lahir dan tumbuh dalam lanskap peradaban Barat yang tengah mengalami keretakan dan ketegangan moral semacam itu, dan ia gelisah. Ia merasa dahaga akan sesuatu yang lain, sesuatu yang tak hanya memuaskan kebutuhan-kebutuhan pancaindranya. Takdir pun membawa Weiss bertualang nun ke negeri-negeri jauh yang terletak antara Gurun Lybia dan puncak-puncak Pamir yang berselimut salju, antara Bosphorus dan Laut Arab. Kelak, tatkala Leopold Weiss sudah berganti nama menjadi Muhammad Assad dan menjadi seorang pemeluk Islam yang teguh, petualangannya itu akan diterakan dalam sebuah kitab menakjubkan bertajuk Road To Mecca.
Inilah kitab tentang kehilangan sekaligus penemuan kembali jati diri, tentang pertemuan-pertemuan yang ganjil tapi asyik, tentang pasir-pasir yang bergerak dan pohon-pohon Tamariska yang meliuk-lampai, tentang dajal dan jin, juga permenungan yang subtil ihwal Barat dan Islam, ihwal jiwa dan raga.
Ditata dengan kepiawaian literer seorang novelis dan penyair agung, menjadikan buku ini rumit sekaligus elok bercahaya bagaikan permata kuno. Di ujung jalan, lelaki ini menemukan apa yang dicarinya: cinta, kebersamaan, welas asih, dan kehadiran cahaya Tuhan di dunia yang hilang jiwa.
Bila disarikan dalam sebaris kalimat ringkas, kitab Road To Mecca bisa dikatakan sebagai rekaman perjalanan evolusi dari manusia pancaindra menuju manusia sarwaindra. Istilah manusia pancaindra dan manusia sarwaindra ini saya pinjam dari Gary Zukav dalam buku mungil yang sangat terkenal, The Seat Of The Soul (1990). Zukav mencuat pertama kali lewat buku The Dancing Wu Li Masters di mana ia mencoba mendapatkan senyawa dengan cantik antara sains Barat dan kearifan Timur.
Zukav mengabarkan bahwa kita kini tengah berevolusi dari manusia pancaindra menjadi manusia sarwaindra. Secara bersama-sama, kelima indra kita membentuk sistem sensori tunggal yang dirancang untuk menangkap realitas fisik. Persepsi manusia sarwaindra melampaui realitas fisik hingga ke sistem dinamika yang lebih besar yang melingkupi realitas fisik kita.
Masalahnya, manusia memilih bersikap angkuh kepada Bumi, bertindak seakan-akan Bumi ini miliknya dan akan menyediakan apa saja yang diinginkannya secara nirbatas. Manusia mencemari daratan, lautan, dan atmosfernya untuk memuaskan kebutuhannya sendiri tanpa hirau pada kebutuhan beraneka rona kehidupan lainnya. Itulah salah satu karakter yang menonjol dari manusia pancaindra.
Sementara itu, manusia sarwaindra mempunyai sikap yang takzim kepada Bumi. Takzim berarti menjalin relasi yang sakral dengan esensi segala sesuatu: manusia, planet-planet, bintang-bintang, gunung-gunung, dan burung-burung.
Tapi, kapan tepatnya manusia sarwaindra ini lahir? Kita akan menjawabnya bersama, dan segera.
Tia Setiadi Periset pada Parikesit Institute dan Manajer Program Balai Sastra Kecapi Yogyakarta
Tinggalkan sebuah Komentar
Cermin Retak Kemerdekaan Pers
Desember 30, 2010 pada 11:46 am (Jurnalistik Indonesia)
Tags: Jurnalistik Indonesia
Oleh: Agus Sudibyo
Di Tual, Maluku Tenggara, kontributor Sun TV tewas teraniaya saat meliput bentrok antarwarga.
Di Merauke, wartawan Merauke TV ditemukan tewas mengambang di sebuah sungai setelah dilaporkan hilang oleh keluarganya. Hasil otopsi menunjukkan adanya indikasi penganiayaan. Di Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, seorang wartawan mendapatkan teror akibat berita yang ditulisnya tentang pembalakan liar. Di Tangerang, wartawan Global TV dan Indosiar diancam akan dibakar hidup-hidup ketika sedang meliput kasus pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik.
Demikian cermin kemerdekaan pers pada momentum ulang tahun kemerdekaan RI, Agustus ini. Dari Sabang sampai Merauke, kita mendengar kisah sedih: kekerasan, intimidasi, bahkan pembunuhan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik. Benarkah kemerdekaan pers secara substansial sudah terwujud di bumi pertiwi?
Kemerdekaan pers harus diukur dari sejauh mana negara melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan tugasnya. Juga dari kesadaran semua pihak untuk menyelesaikan keberatan atas pemberitaan media secara beradab dan nir-kekerasan. Keselamatan wartawan masih masalah serius di Indonesia.
Dalam catatan Dewan Pers, kekerasan terhadap wartawan marak pada paruh pertama 2010. Kekerasan berupa intimidasi, pelecehan verbal, perusakan peralatan, menghalangi peliputan, penyekapan, penganiayaan fisik, hingga pembunuhan. Pelaku beragam: pejabat publik, staf instansi pemerintah, artis, warga masyarakat, dan preman yang mungkin disuruh pengusaha atau pejabat tertentu.
Faktor yang menonjol adalah lemahnya perlindungan negara terhadap profesi wartawan. Pemerintah juga lamban merespons tindakan kekerasan yang terjadi, bahkan dalam beberapa kasus cenderung membiarkan. Kedaluwarsanya kasus pembunuhan Udin, wartawan Bernas, Yogyakarta, contoh tak terbantahkan di sini. Wartawan bukan warga negara istimewa. Mereka bisa melakukan pelanggaran dan patut mendapatkan hukuman atas pelanggaran itu. Harus diakui, masih banyak wartawan tak profesional dan tingkah lakunya meresahkan berbagai pihak.
Namun, bukan berarti kekerasan terhadap wartawan dapat dibenarkan. Kekerasan tidak dapat dibenarkan pada siapa pun, apalagi terhadap mereka yang sedang menjalankan fungsi-fungsi publik. Pokok masalah ini yang sering dilupakan pemerintah yang telanjur apriori terhadap profesi wartawan dan sikap kritis media. Ketidaktegasan dan sikap apriori ini pula yang mengondisikan berbagai pihak tidak segan-segan melakukan tindakan premanisme dan vandalistis terhadap unsur-unsur media. Mereka adalah kelompok yang tidak menghendaki pelembagaan kemerdekaan pers di Indonesia karena selalu melihat kritisisme media sebagai ancaman terhadap kepentingan ekonomi-politik mereka yang telah mapan.
Siapa bertanggung jawab?
Negara berkewajiban melindungi prinsip kemerdekaan pers, termasuk melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan profesinya. Kemerdekaan pers adalah bagian fundamental kehidupan demokrasi, sekaligus tolok ukur peradaban suatu bangsa. Pemerintah tidak boleh memandang remeh tren kekerasan terhadap wartawan dan media yang meningkat belakangan.
Penegak hukum harus membuktikan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus kekerasan yang terjadi. Kepolisian harus secara konsekuen mengusut kekerasan dan teror yang terjadi guna memberikan keadilan bagi korban dan keluarga, serta mengembalikan rasa aman para wartawan dan media dalam menjalankan imperatif mewujudkan hak-hak publik atas informasi.
Dewan Pers bertugas menegakkan kode etik dan melindungi kemerdekaan pers. Menegakkan kode etik berarti harus bersikap tegas terhadap media atau wartawan yang melanggar. Melindungi kemerdekaan pers berarti mengadvokasi wartawan korban kekerasan, mencegah lahirnya regulasi anti-kebebasan pers, menjalin kesepahaman dengan kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain soal prinsip perlindungan kemerdekaan pers.
Pada akhirnya, media tempat wartawan bekerja juga harus bertanggung jawab. Dalam beberapa kasus, kekerasan terhadap wartawan merupakan reaksi atas tindakan tidak profesional dari wartawan itu sendiri: menghina narasumber, melanggar privasi, bahkan melakukan pemukulan. Sudahkah media membekali wartawannya dengan pemahaman komprehensif tentang etika dan profesionalisme media? Benarkah media tak membebani wartawannya dengan tuntutan kerja tak masuk akal sehingga mengondisikan mereka untuk mengabaikan etika peliputan?
Persaingan antarmedia untuk mendapatkan berita aktual dan eksklusif kian ketat. Wartawan di lapangan menanggung beban paling berat. Mereka harus berpacu mendapatkan informasi, sumber, gambar yang paling dramatis dan eksklusif. Dalam konteks ini, insiden sangat mungkin terjadi.
Sang wartawan nekat meliput situasi genting dengan mengesampingkan keselamatan diri. Heroisme ini patut dihargai, tetapi keselamatan jelas lebih prioritas. Maka, media bertanggung jawab memastikan bahwa yang meliput kerusuhan adalah wartawan yang berpengalaman menghadapi situasi darurat. Media bertanggung jawab memberikan fasilitas memadai dan pengetahuan cukup sehingga memudahkan wartawan menyelamatkan diri dari situasi darurat.
Agus Sudibyo Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers.
Tinggalkan sebuah Komentar
Rekan tadi juga bercerita bahwa saat Julia Roberts shooting di Bali akhir tahun 2009, dia berhasil mendapatkan sebuah foto Roberts yang lalu terjual dengan harga cukup tinggi.
Pada awal tahun 1990-an saya pernah mendapat uang dalam jumlah banyak hanya untuk memotret seorang pria yang makan siang di sebuah restoran hotel berbintang di Jakarta. Yang memberi kerja adalah istri pria itu, yang curiga bahwa suaminya selingkuh. Tugas saya hanyalah memotret wanita mana saja yang tampak bersama pria itu.
Tak lazim
Pekerjaan yang saya lakukan ataupun yang dilakukan rekan di Bali tadi biasa disebut sebagai pekerjaan paparazzi. Sebuah pekerjaan yang tidak lazim sebab memotret dengan keadaan ”memaksa”. Orang yang dipotret sesungguhnya tidak tahu kalau dipotret, dan mungkin sama sekali tidak mau.
Anda mungkin ingat kejadian pada tahun 1997 ketika Putri Diana meninggal dunia karena dikejar-kejar paparazzi. Putri Diana menolak dipotret sehingga sopirnya memacu mobilnya untuk menghindari para paparazzi tersebut, dan terjadilah sebuah kecelakaan.
Kata paparazzi, atau paparazzo dalam bentuk kata tunggalnya, dalam bahasa Italia arti harfiahnya kira-kira ”sinting”. Kata itu pertama kali muncul di Italia pada tahun 1960-an dari film berjudul La Dolce Vita yang menggambarkan kehidupan para bintang yang serba wah. Oleh sutradara film ini, yaitu Fellini, orang-orang yang suka mengintip kelakuan para bintang itu disebutnya paparazzo. Julukan ”sinting” ini masuk akal sebab mereka biasa membuntuti orang-orang penting untuk mendapatkan foto se-eksklusif mungkin tanpa peduli perasaan orang yang difoto itu.
Jangan tanya apakah profesi paparazzi itu halal atau tidak. Kenyataaannya, profesi tersebut ada karena banyak orang membutuhkan hasil kerja para paparazzi.
Waktu Michael Jackson meninggal, misalnya, sangat sedikit info yang ada tentang anak-anak bintang pop itu. Jadilah para paparazzi mengejar foto-foto anak Jacko. Sebuah foto anak Jacko konon berharga ribuan dollar AS, dan pembeli foto-foto itu adalah aneka majalah gosip yang mungkin juga sampai ke tangan Anda.
Profesi paparazzi sempat mencuat saat Richard Young dengan kejeliannya berhasil mendapatkan fakta kehidupan sehari-hari Soraya Khashoggi, janda cerai Adnan Khashoggi, salah satu orang terkaya di dunia pada tahun 1988. Foto karya Young itu kemudian melahirkan tulisan features tentang Soraya di berbagai majalah di Eropa dan Amerika pada tahun itu.
Profesi paparazzi tidak akan pernah surut sebab kebutuhan foto-foto eksklusif untuk itu selalu ada. Beberapa paparazzi papan atas punya dana sampai ribuan dollar AS untuk mendapatkan sebuah foto. Waktu Sean Penn menikah dengan Madonna pada 1985 beberapa paparazzi sampai menyewa helikopter (yang menaikkan tarif sewa dengan gila-gilaan) untuk bisa memotret pesta perkawinan Sean Penn-Madonna itu.
Apakah paparazzi itu wartawan? Bukan. Mereka semata pedagang foto eksklusif. Bagaimana menghadapi paparazzi? Santai saja karena mereka sebenarnya cuma ingin memotret. Apakah kerja mereka dapat dibenarkan? Tergantung dari mana Anda memandang. Kalau Anda dikejar paparazzi, itu artinya Anda terkenal. Dan risiko terkenal adalah: Anda kehilangan privasi.
Tinggalkan sebuah Komentar
Bijak Menghadapi Kritik Media
Januari 2, 2011 pada 4:18 am (Jurnalistik Indonesia)
Tags: Jurnalistik Indonesia
Oleh Agus Sudibyo
Ali Sadikin adalah gejala tersendiri dalam konteks relasi antara pejabat publik dengan unsur masyarakat dan pers. Meski bukan figur yang tergolong ramah terhadap LSM dan media, Bang Ali selalu berusaha terbuka dan berpikiran positif terhadap kritik.
Sebagai gubernur DKI, Bang Ali bahkan merasa terbantu oleh kritik LSM dan media. Kritik membantunya mendapat gambaran sesungguhnya tentang kualitas pemerintahannya: pelayanan publik serta kelemahan dan penyelewengan di lapangan.
Dari anak-buahnya, para birokrat yang alergi kritik, hanya ada laporan bertipe asal bapak senang. Isinya, penyelenggaraan pemerintahan berjalan baik, normal, meski yang terjadi sebaliknya: sarat pelanggaran dan penyelewengan. Bang Ali paham laporan seperti ini hanya membuatnya keliru menganalisis keadaan dan mengambil keputusan. Ia justru mengandalkan masukan dan kritik eksternal saat mengevaluasi pemerintahannya.
Mentalitas Bang Ali sangat relevan ketika kita menghadapi respons negatif pemerintah terhadap kritik media belakangan ini. Tak diragukan lagi, peran media sungguh signifikan mengangkat kontroversi cicak versus buaya, kriminalisasi KPK, penalangan Bank Century, dan mafia peradilan. Pemberitaan media mampu meletakkan opini publik sebagai faktor determinan dalam pengambilan putusan di tingkat eksekutif ataupun legislatif.
Dihadapkan pada situasi seperti ini, yang diperagakan para pemimpin kita bukan mentalitas Bang Ali. Sebaliknya malah sikap reaktif dan tidak proporsional. Secara apriori dan tanpa rujukan yang jelas, mereka gemar melontarkan penilaian, seperti ”kebebasan pers telah kebablasan”, ”media melakukan tirani opini”, ”pers jangan menjadi provokator”, dan ”masyarakat makin kreatif memfitnah”.
Efek delegitimasi
Muncul kepanikan ketika kritik media menimbulkan efek delegitimasi signifikan terhadap unsur politik tertentu. Yang mengemuka bukan mawas diri dan kreativitas menghadapi paparan media, namun justru praduga, bahkan niat buruk. Ini terjadi ketika Wapres Boediono melontarkan gagasan sinergi TVRI, RRI dan Antara ke dalam satu institusi untuk membantu pemerintah mengimbangi kritik media massa. Tersirat keinginan menjadikan tiga lembaga itu sebagai instrumen politik pemerintah.
Gagasan ini jelas kontroversial dan kontraproduktif. Pertama, UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 menegaskan TVRI-RRI adalah lembaga penyiaran publik yang independen, netral, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Salah besar membayangkan fungsinya sebagai organ pemerintah guna mengimbangi kritik media komersial.
Fungsi penyiaran publik di mana pun menjalankan keutamaan publik: pendidikan kewargaan, ruang publik budaya, pemberdayaan sosial ekonomi. TVRI-RRI tak dapat diidentifikasi sebagai lembaga milik pemerintah sebab didanai APBN yang adalah dana publik, bukan dana pemerintah. Gagasan menjadikan TVRI-RRI instrumen politik pemerintah hanya lazim muncul dalam rezim otoriter. Gagasan ini menunjukkan ketakpahaman terhadap spirit kelembagaan penyiaran publik.
Kontrol
Kedua, dalam rezim yang demokratis, sudah pada tempatnya pers mengontrol pemerintah. Pers adalah perangkat masyarakat guna mengawasi penyelenggaraan kekuasaan dalam berbagai bentuk. Cara efektif menghadapi kritik pers bukanlah dengan menciptakan tandingannya atau mencoba membungkamnya melalui produk kebijakan. Satu-satunya cara: mereduksi tindakan, kebijakan, dan situasi yang dapat memicu kontroversi. Agar terhindar dari paparan negatif media, pemerintah jangan membuat kesalahan. Penuhi harapan publik akan pemerintahan efektif dan bersih!
Tentu ini tak berarti pemberitaan media sama sekali tak menguntungkan pemerintah. Pemberitaan media tentang fasilitas mewah narapidana berduit jelas memperkuat alasan Menhuk dan HAM menertibkan jajarannya. Kontroversi media tentang cicak versus buaya menghindarkan Presiden dari kesalahan fatal melemahkan KPK dan mengkriminalkan anggotanya.
Pemberitaan intensif tentang dana talangan Century pada sisi lain juga mengondisikan DPR benar-benar mengusut tuntas kasus ini. Persoalannya, apakah pejabat kita bermental Bang Ali. Apakah mereka mau melihat pers secara kritis, proporsional, dan konstruktif?
Dalam beberapa kasus, pers masih mengabaikan etika dan profesionalisme. Kelemahan ini cukup menuntut perbaikan kualitas pemberitaan media, tetapi jelas tak memadai mengintroduksi kebijakan yang antikebebasan pers. Keberatan pemerintah dan unsur politik terhadap pemberitaan media seharusnya didasari itikad memperbaiki kualitas ruang publik media sehingga adil terhadap semua pihak, bukan niat ”balas-dendam” atau hasrat membelenggu kebebasan media.
Agus Sudibyo Wakil Direktur Yayasan SET Jakarta
1 Komentar
Evolusi Menjadi Manusia Sarwaindra
Desember 31, 2010 pada 1:29 am (Jurnalistik Indonesia)
Tags: Jurnalistik Indonesia
Oleh: Tia Setiadi
Suatu hari pada September 1926, seorang pemuda Yahudi bernama Leopold Weiss sedang bepergian dengan kereta bawah tanah di Berlin. Dia menumpang kereta kelas satu. Sepintas lalu, Weiss memandang berkeliling pada orang-orang di sekitarnya. Tampak olehnya seorang lelaki berpakaian mentereng dengan tas tangan indah pada lututnya dan cincin berlian besar di jarinya. Weiss berpikir lelaki ini patut menjadi ukuran bagi kemakmuran yang tampak di mana-mana di Eropa tengah pada masa itu. Namun, tatkala Weiss memandang wajahnya, kelihatan lelaki itu rusuh, bukan hanya sekadar bingung, tetapi juga sangat menderita, dengan tatapan hampa ke depan.
Weiss mengalihkan pandang kepada penumpang lain, seorang wanita dengan kemewahan yang sama. Wanita ini pun menunjukkan air muka sendu, seolah sedang mengalami sesuatu yang membuatnya amat merana. Kemudian, Weiss melihat wajah-wajah lain yang berada di ruangan itu, orang-orang yang berpakaian keren dengan kelimpahan materi yang kentara. Dengan masygul, Weiss mengatakan, ”Hampir setiap orang dapat saya amati ekspresi penderitaan tersembunyi, begitu terpendam sehingga para pemilik wajah itu sendiri seolah-olah tak menyadari sama sekali.”
Ada sesuatu yang salah, demikian si pemuda Yahudi itu membatin. Barat telah mencapai prestasi-prestasi di bidang materiil, kemajuan sains, dan teknologi yang mahadahsyat, tetapi bersamaan dengan itu telah lenyap pula oasis-oasis spiritual dan tenaga kerohanian yang menyangga peradabannya. Kemajuan teknologi, di satu sisi telah meningkatkan kekuatan dan kekuasaan manusia secara luar biasa, tetapi di sisi lain ”kesenjangan moral” antara kekuatan fisik manusia untuk berbuat jahat dan kemampuan spiritualnya untuk mengendalikan kekuatan jahat itu menganga selebar rahang-rahang neraka.
Penemuan jati diri
Leopold Weiss lahir dan tumbuh dalam lanskap peradaban Barat yang tengah mengalami keretakan dan ketegangan moral semacam itu, dan ia gelisah. Ia merasa dahaga akan sesuatu yang lain, sesuatu yang tak hanya memuaskan kebutuhan-kebutuhan pancaindranya. Takdir pun membawa Weiss bertualang nun ke negeri-negeri jauh yang terletak antara Gurun Lybia dan puncak-puncak Pamir yang berselimut salju, antara Bosphorus dan Laut Arab. Kelak, tatkala Leopold Weiss sudah berganti nama menjadi Muhammad Assad dan menjadi seorang pemeluk Islam yang teguh, petualangannya itu akan diterakan dalam sebuah kitab menakjubkan bertajuk Road To Mecca.
Inilah kitab tentang kehilangan sekaligus penemuan kembali jati diri, tentang pertemuan-pertemuan yang ganjil tapi asyik, tentang pasir-pasir yang bergerak dan pohon-pohon Tamariska yang meliuk-lampai, tentang dajal dan jin, juga permenungan yang subtil ihwal Barat dan Islam, ihwal jiwa dan raga.
Ditata dengan kepiawaian literer seorang novelis dan penyair agung, menjadikan buku ini rumit sekaligus elok bercahaya bagaikan permata kuno. Di ujung jalan, lelaki ini menemukan apa yang dicarinya: cinta, kebersamaan, welas asih, dan kehadiran cahaya Tuhan di dunia yang hilang jiwa.
Bila disarikan dalam sebaris kalimat ringkas, kitab Road To Mecca bisa dikatakan sebagai rekaman perjalanan evolusi dari manusia pancaindra menuju manusia sarwaindra. Istilah manusia pancaindra dan manusia sarwaindra ini saya pinjam dari Gary Zukav dalam buku mungil yang sangat terkenal, The Seat Of The Soul (1990). Zukav mencuat pertama kali lewat buku The Dancing Wu Li Masters di mana ia mencoba mendapatkan senyawa dengan cantik antara sains Barat dan kearifan Timur.
Zukav mengabarkan bahwa kita kini tengah berevolusi dari manusia pancaindra menjadi manusia sarwaindra. Secara bersama-sama, kelima indra kita membentuk sistem sensori tunggal yang dirancang untuk menangkap realitas fisik. Persepsi manusia sarwaindra melampaui realitas fisik hingga ke sistem dinamika yang lebih besar yang melingkupi realitas fisik kita.
Masalahnya, manusia memilih bersikap angkuh kepada Bumi, bertindak seakan-akan Bumi ini miliknya dan akan menyediakan apa saja yang diinginkannya secara nirbatas. Manusia mencemari daratan, lautan, dan atmosfernya untuk memuaskan kebutuhannya sendiri tanpa hirau pada kebutuhan beraneka rona kehidupan lainnya. Itulah salah satu karakter yang menonjol dari manusia pancaindra.
Sementara itu, manusia sarwaindra mempunyai sikap yang takzim kepada Bumi. Takzim berarti menjalin relasi yang sakral dengan esensi segala sesuatu: manusia, planet-planet, bintang-bintang, gunung-gunung, dan burung-burung.
Tapi, kapan tepatnya manusia sarwaindra ini lahir? Kita akan menjawabnya bersama, dan segera.
Tia Setiadi Periset pada Parikesit Institute dan Manajer Program Balai Sastra Kecapi Yogyakarta
Tinggalkan sebuah Komentar
Cermin Retak Kemerdekaan Pers
Desember 30, 2010 pada 11:46 am (Jurnalistik Indonesia)
Tags: Jurnalistik Indonesia
Oleh: Agus Sudibyo
Di Tual, Maluku Tenggara, kontributor Sun TV tewas teraniaya saat meliput bentrok antarwarga.
Di Merauke, wartawan Merauke TV ditemukan tewas mengambang di sebuah sungai setelah dilaporkan hilang oleh keluarganya. Hasil otopsi menunjukkan adanya indikasi penganiayaan. Di Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, seorang wartawan mendapatkan teror akibat berita yang ditulisnya tentang pembalakan liar. Di Tangerang, wartawan Global TV dan Indosiar diancam akan dibakar hidup-hidup ketika sedang meliput kasus pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik.
Demikian cermin kemerdekaan pers pada momentum ulang tahun kemerdekaan RI, Agustus ini. Dari Sabang sampai Merauke, kita mendengar kisah sedih: kekerasan, intimidasi, bahkan pembunuhan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik. Benarkah kemerdekaan pers secara substansial sudah terwujud di bumi pertiwi?
Kemerdekaan pers harus diukur dari sejauh mana negara melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan tugasnya. Juga dari kesadaran semua pihak untuk menyelesaikan keberatan atas pemberitaan media secara beradab dan nir-kekerasan. Keselamatan wartawan masih masalah serius di Indonesia.
Dalam catatan Dewan Pers, kekerasan terhadap wartawan marak pada paruh pertama 2010. Kekerasan berupa intimidasi, pelecehan verbal, perusakan peralatan, menghalangi peliputan, penyekapan, penganiayaan fisik, hingga pembunuhan. Pelaku beragam: pejabat publik, staf instansi pemerintah, artis, warga masyarakat, dan preman yang mungkin disuruh pengusaha atau pejabat tertentu.
Faktor yang menonjol adalah lemahnya perlindungan negara terhadap profesi wartawan. Pemerintah juga lamban merespons tindakan kekerasan yang terjadi, bahkan dalam beberapa kasus cenderung membiarkan. Kedaluwarsanya kasus pembunuhan Udin, wartawan Bernas, Yogyakarta, contoh tak terbantahkan di sini. Wartawan bukan warga negara istimewa. Mereka bisa melakukan pelanggaran dan patut mendapatkan hukuman atas pelanggaran itu. Harus diakui, masih banyak wartawan tak profesional dan tingkah lakunya meresahkan berbagai pihak.
Namun, bukan berarti kekerasan terhadap wartawan dapat dibenarkan. Kekerasan tidak dapat dibenarkan pada siapa pun, apalagi terhadap mereka yang sedang menjalankan fungsi-fungsi publik. Pokok masalah ini yang sering dilupakan pemerintah yang telanjur apriori terhadap profesi wartawan dan sikap kritis media. Ketidaktegasan dan sikap apriori ini pula yang mengondisikan berbagai pihak tidak segan-segan melakukan tindakan premanisme dan vandalistis terhadap unsur-unsur media. Mereka adalah kelompok yang tidak menghendaki pelembagaan kemerdekaan pers di Indonesia karena selalu melihat kritisisme media sebagai ancaman terhadap kepentingan ekonomi-politik mereka yang telah mapan.
Siapa bertanggung jawab?
Negara berkewajiban melindungi prinsip kemerdekaan pers, termasuk melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan profesinya. Kemerdekaan pers adalah bagian fundamental kehidupan demokrasi, sekaligus tolok ukur peradaban suatu bangsa. Pemerintah tidak boleh memandang remeh tren kekerasan terhadap wartawan dan media yang meningkat belakangan.
Penegak hukum harus membuktikan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus kekerasan yang terjadi. Kepolisian harus secara konsekuen mengusut kekerasan dan teror yang terjadi guna memberikan keadilan bagi korban dan keluarga, serta mengembalikan rasa aman para wartawan dan media dalam menjalankan imperatif mewujudkan hak-hak publik atas informasi.
Dewan Pers bertugas menegakkan kode etik dan melindungi kemerdekaan pers. Menegakkan kode etik berarti harus bersikap tegas terhadap media atau wartawan yang melanggar. Melindungi kemerdekaan pers berarti mengadvokasi wartawan korban kekerasan, mencegah lahirnya regulasi anti-kebebasan pers, menjalin kesepahaman dengan kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain soal prinsip perlindungan kemerdekaan pers.
Pada akhirnya, media tempat wartawan bekerja juga harus bertanggung jawab. Dalam beberapa kasus, kekerasan terhadap wartawan merupakan reaksi atas tindakan tidak profesional dari wartawan itu sendiri: menghina narasumber, melanggar privasi, bahkan melakukan pemukulan. Sudahkah media membekali wartawannya dengan pemahaman komprehensif tentang etika dan profesionalisme media? Benarkah media tak membebani wartawannya dengan tuntutan kerja tak masuk akal sehingga mengondisikan mereka untuk mengabaikan etika peliputan?
Persaingan antarmedia untuk mendapatkan berita aktual dan eksklusif kian ketat. Wartawan di lapangan menanggung beban paling berat. Mereka harus berpacu mendapatkan informasi, sumber, gambar yang paling dramatis dan eksklusif. Dalam konteks ini, insiden sangat mungkin terjadi.
Sang wartawan nekat meliput situasi genting dengan mengesampingkan keselamatan diri. Heroisme ini patut dihargai, tetapi keselamatan jelas lebih prioritas. Maka, media bertanggung jawab memastikan bahwa yang meliput kerusuhan adalah wartawan yang berpengalaman menghadapi situasi darurat. Media bertanggung jawab memberikan fasilitas memadai dan pengetahuan cukup sehingga memudahkan wartawan menyelamatkan diri dari situasi darurat.
Agus Sudibyo Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers.
Tinggalkan sebuah Komentar
0 komentar:
Posting Komentar